Langsung ke konten utama

Wasiat Membunuh Bapak (Lombok Post, 8-Nov-2015)




Wasiat Membunuh Bapak
Cerpen Novita Hidayani

     Aku menyalakan keran pada wastafel, membasuh sebuah pisau. Sinar matahari pagi yang hangat terpantul berkilau.
***
     “Bunuh bapakmu!”
     Kali pertama mendengar itu aku tertawa. Sungguh terdengar seperti guyonan. Membuatku melepaskan genggaman tangannya yang hanya berupa selapis kulit putih pucat keriput dan tulang.
     “Bunuh bapakmu!” Ibu mengulangi kata-katanya. Kedua matanya yang cekung menatapku tajam. Ada benci yang terlihat sangat mengerikan tertanam disana, yang akarnya merambat mengeraskan rahangnya yang biasa terlihat lembut. Aku menelan ludah. Tertawa. Berusaha tertawa tepatnya. Dan tawa itu terdengar mengerikan diterbangkan angin kering bulan Juli yang masuk melewati jendela ruangan sempit berukuran 3 x 4 meter ini.
     “Aku akan mati segera. Bunuh bapakmu! Itu permintaan terakhirku. Wasiat. Bagaimanapun kau harus membunuh laki-laki jahanam itu. Dengan begitu kesengsaraanku selama ini bisa terbayar, dan setidaknya aku bisa mati dengan tenang.” Ibu kemudian berbalik menghadap ke tembok setelah menarik selimut batik cokelatnya hingga ke leher. Suara batuknya yang seperti sikat kawat yang menggaruk-garuk pantat panci terdengar begitu menyakitkan.
     “Ibu …”
     Tak ada jawaban. Sesak menggantung di langit kamar yang baunya amat sangat memualkan ini; bau minyak kayu putih bercampur bau obat-obatan kimia maupun herba dan sisa muntahan. Aku mengelus rambutnya yang tinggal sejumput dan meninggalkannya sendiri.
***
     Aku benar-benar mengutuk diri, kenapa saat itu aku memberitahu ibu bahwa bapak yang telah meninggalkan kami terlunta-lunta selama 18 tahun telah kembali ke kota kami bersama keluarga barunya yang tampak begitu bahagia. Andai saja saat itu aku tak memberitahunya, tentu saja ia tak akan berwasiat untuk membunuh bapak.
Iya. Ibu akhirnya meninggal sehari setelah itu. Meninggal setelah sekarat yang terdengar begitu menyakitkan. Aku yang enggan terlihat menangis, malam itu memilih mengunci pintu kamar dan duduk tercenung dibaliknya, mendengar perempuan yang telah membesarkanku dengan menjual harga dirinya selama ini mengerang dan merintih berjibaku dengan malaikat pencabut nyawa, sementara para tetangga yang kerap menggunjingnya berlomba menuntunnya mengucap dua kalimat syahadat. Sejam setelah itulah, ibu benar-benar meninggal dengan wajah yang menyimpan seribu luka.
Tujuh hari setelah ibu meninggal, malam itu aku seharusnya ikut ritual tujuh harian di rumah. Tapi aku memilih menikmati semangkuk besar es krim vanilla dengan sirup blue berry dan sebutir ceri di salah satu kursi kafe dekat jendela, di lantai paling atas sebuah Mall tempat dulu ibu bekerja. Memilih membiarkan keramaian mengukung dukaku. Dan membiarkan kenangan-kenangan merayap seperti kendaraan-kendaraan yang memadati jalan raya di bawah sana.
“Waktu kecil dulu, kau bayi penyakitan. Hampir setiap hari keluar masuk UGD. Di saat-saat seperti itu bapakmu malah menghilang entah kemana bersama perempuan simpanannya tanpa memberiku uang sepeserpun. Sementara aku serasa mau mati saking cemasnya.”
Bapak benar-benar meninggalkanku dan ibu ketika usiaku menginjak enam tahun. Sejak saat itu, ibu selalu memenuhi otakku dengan cerita-cerita bagaimana bapak yang selalu menyakitinya dan menghancurkan hidup kami. Berharap aku membencinya.
Sepeninggal Bapak, Ibu yang hanya lulusan sekolah kejuruan kemudian bekerja di salah satu kafe Mall tempatku menghabiskan malam tujuh hariannya ini. Saban hari sepulang sekolah, aku akan menunggunya bekerja, duduk manis melihat kendaraan yang lalu lalang di bawah sana, atau jika bosan aku akan berkeliling Mall dari satu toko ke toko yang lain sendirian tanpa sepengetahuannya. Begitulah selama beberapa bulan, Mall ini pernah menjadi rumah keduaku.
Kalau tidak salah di bulan ketiga ia bekerja, malam itu kami tidak pulang dengan mobil angkot berwarna kuning yang biasa kami tumpangi. Seorang laki-laki dengan pakaian necis dan rambut kelimis menunggu kami di parkiran Mall di depan sebuah mobil sedan yang sangat bagus.
“Alita, ini om Farhan.” Begitu ibu memperkenalkan laki-laki itu.
Malam itu kami tidak pulang ke kosan kami. Aku tahu bukan saat aku terbangun di pagi harinya, melainkan saat laki-laki itu membopongku yang dipikirnya telah tertidur di jok belakang mobilnya ke dalam sebuah kamar motel bersama ibu. Ia meletakkanku di sebuah ranjang menghadap ke tembok. Malam itu aku tidak tertidur. Mataku terbuka menatap dinding berwarna putih gading, tak berani bergerak sedikitpun mendengarkan suara ranjang di sampingku berderit yang diikuti suara desahan dan lenguhan ibu. Beberapa waktu setelah kejadian itu dari gunjingan tetangga-tetangga kami, aku tahu kalau ibuku telah menjadi perempuan simpanan laki-laki itu, si pemilik kafe tempat ibuku bekerja.
“Jika ada orang yang patut disalahkan atas kehancuran hidup kita, dialah bapakmu!” Ibu selalu bilang begitu.
Aku juga tahu, hal yang paling menyakiti ibu bukanlah karena perubahan hidupnya itu, tapi bapak yang menghianati cintanyalah yang menjadi penyebab luka yang tak sembuh-sembuh selama belasan tahun itu. Ibu masih mencintai bapak setelah semua yang terjadi. Itu fakta yang kutahu. Tak jarang aku yang selalu tidur dengannya, sebelum TBC mengekspansi paru-parunya, mendengarnya menangis tengah malam atau melihatnya duduk di depan meja rias kami dengan rokok di tangan kanannya dan photo bapak di tangan kirinya. Photo yang masih disimpannya dengan baik bahkan hingga ajal menjemputnya.
“Bagaimana bisa kamu meninggalkanku seperti itu? Bukankah kau selalu berkata kau sangat mencintaiku dengan sepenuh hati? Kenapa? Kenapa kau setega itu? Aku sangat merindukanmu sekarang. Bagaimana ini?!” Lalu suara tangisan ibu yang begitu memilukan terdengar merobek-robek malam. Aku hanya bisa melihat pantulan sosoknya yang menangis menatap selembar photo dengan raut wajah yang sangat memilukan.
Getar handphoneku kemudian membuyarkan lamunanku. Sebuah pesan singkat. Aku meremas erat-erat tali tas selempang yang kukenakan. Jantungku berdegub kencang. Di dalam tas ini ada sebotol sianida dan sebuah pisau dapur yang telah kuasah sejak tiga hari yang lalu. Setelah membalas pesan singkat itu, aku kemudian meninggalkan mangkuk es krimku yang telah mencair dengan buah ceri yang terapung di atasnya. Tak ingin mengulur waktu.
***
Ia tak butuh waktu banyak untuk mengenaliku. Beberapa detik setelah pintu rumahnya terbuka dan melihatku sekilas, ia langsung memelukku seakan-akan aku anak yang selama ini dicarinya, alih-alih telah ditinggalkannya terlunta-lunta selama 18 tahun. Tak banyak yang berubah darinya, selain rambutnya yang mulai dipenuhi uban dan kerutan di beberapa bagian wajahnya yang membuatnya malah tampak bersahaja. Ia menatapku dengan tatapan canggung bercampur takjub dan kurasakan sedikit rindu disana.
“Maaf aku baru tau kalau ibumu …”
“Tak apa.”
Ia menatapku penuh penyesalan. Dari dalam dua anak perempuan yang kira-kira berusia empat tahun berlarian berebut memelukku. Kembar. Yang satu berbaju kuning dan yang satunya lagi berbaju pink. Dari dalam seorang perempuan berteriak memintanya untuk mengajakku masuk.
“Ayo masuklah. Kami telah menyiapkan kamar untukmu. Kau bisa tidur disini malam ini. Atau jika kau mau, kau bisa tinggal bersama kami disini.”
Aku hanya tersenyum mendengar itu. Dua anak kembar itu kemudian menarik kedua tanganku masuk ke rumah mereka sambil berulang kali menyebut namaku.
Keluarganya menyambutku hangat, isterinya memperlakukanku dengan baik. Aku lebih banyak diam memperhatikan keluarga bahagia ini, tak adakah kami, aku dan ibu, yang membayangi kehidupannya selama ini layaknya hidupku dan ibu yang selalu dibayang-bayangi ketiadaannya? Menjelang pukul sepuluh aku pamit tidur lebih dulu, berjanji akan memasak sarapan keesokan harinya. Iya, sarapan seperti yang telah kurencanakan matang-matang. Ia mencium keningku dan mengucapkan selamat tidur seperti yang dulu selalu dilakukannya. Batinku terasa bergejolak. Wajah ibu seketika berkelebat di pelupuk mataku.
“Bunuh bapakmu!”
***
Aku menyalakan keran pada wastafel, mencuci bersih asparagus untuk adonan telur dadar yang kubuat. Suara kaldu ayam yang mendidih terdengar beradu dengan suara kehidupan yang mulai menggeliat di luar sana. Seekor kucing Persia putih mengawasiku sejak tadi di atas meja makan. Kedua mata kuning keemasannya mengikuti setiap gerak-gerikku.
Kuiris asparagus itu tipis-tipis, sementara bayangan aku mengiris daging bapak dan keluarga ini terbayang. Mereka akan mati lebih dulu dengan sianida yang akan kumasukan pada sup dan telur dadar yang kubuat, sehingga saat aku mengiris-ngiris tubuh mereka nanti, mereka tak perlu merasakan rasa sakit lagi. Sial! Kenangan saat bapak dulu mengiris-ngiris bawang merah dan memasukannya kedalam telur dadar kesukaanku tiba-tiba saja kembali berputar. Juga saat ia mengajariku melipat kertas membentuk serupa perahu dan burung. Tak ketinggalan saat ia mengajariku bersepeda dulu.
“Bunuh bapakmu!”
Kenangan itu kemudian berganti dengan tubuh kurus kering ibu yang dimakan TBC. Disusul bayangan ibu yang menangis dengan suara yang begitu memilukan hampir setiap malam. Kupejamkan mata. Terus mengiris-ngiris asparagus tak mempedulikan tanganku yang teriris. Mereka mulai terbangun. Siap menyantap sarapan pertama dan terakhir mereka denganku.
***
Aku melihat mereka satu persatu tumbang dengan bibir yang dipenuhi busa di meja makan. Aku juga melihat tatapan mata bapak yang meminta pertolongan dan pengampunan. Tenggorokanku tercekat. Kucing Persia yang sejak tadi mengawasi setiap gerak-gerakku terus-terusan mengeong mengelilingi meja makan tempat tubuh mereka yang tak berdaya terkulai.
Aku berdiri di belakang bapak yang telungkup tak sadarkan diri di kursi makannya. dengan pisau yang kugenggam erat di tanganku, siap mencabik-cabik atau mungkin menggorok lehernya bila perlu. Tapi punggung itu. Punggung itu dulu tempatku selalu bergelayut. Tubuh itu yang dulu selalu mengangkatku dan mengajakku berlarian di halaman rumah kami. Tanganku terasa lemas. Bayangan wajah ibu yang penuh luka kembali berkelebat membayang.
Aku lantas teriak menangis sekeras-kerasnya. Lututku dan tanganku terasa lemas. Aku berjalan lunglai menuju ke telpon rumah yang ada disudut ruangan. Menelpon agar ambulan segera datang selagi mereka masih bernafas.
Ruangan ini kemudian terasa begitu sunyi dan dingin. Hanya detik jam yang berbunyi dan kucing Persia yang masih terus mengeong.
***
Aku menyalakan keran pada wastafel, membasuh sebuah pisau. Tak ada darah disana. Sinar matahari pagi yang hangat terpantul berkilau.
Aku mengeluarkan botol sianida dari sakuku yang isinya masih tersisa, menatap dengan kosong ke dalamnya.
Mataram 5/2/2015
Akarpohon Mataram

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layang-layang yang Terlambat Pulang (Lombok post Minggu, 12 Juni 2016)

Cerpen Novita Hidayani Beberapa hari ini aku melihat sebuah layang-layang yang selalu terlambat pulang. Menjelang magrib, semua layang-layang biasanya akan diturunkan dan pulang bersama pemiliknya ke rumah masing-masing. Tetapi layang-layang itu, meski langit telah menghitam, ia masih saja mengudara. Ia seperti enggan untuk pulang. *** Meski tak pernah dapat memainkannya, sejak kecil aku selalu suka melihat layang-layang terbang di langit. Entah langit sedang sebiru samudera, atau seoranye telur setengah matang. Senang sekali rasanya melihat benda tipis berwarna-warni, kadang berekor panjang itu   mengambang di udara. Kadang diam seperti petapa, kadang meliuk-liuk seperti ular, dan kadang beradu seperti domba Sore ini aku duduk di balkon kamar kontrakkanku. Sudah lama sekali rasanya aku tak melakukan ini, ngemil sambil menyaksikan layang-layang bertebangan di langit. Ditemani burung-burung gereja pada kabel-kabel listrik yang malang melintang di hadapan balkon dan

Whatever just be your self!

Sore itu seperti biasa, aku menghadiri acara kajian rutin yang diadakan oleh sebuah organisasi nirlaba di kota tempat ku menuntut ilmu. Dan seperti biasa aku selalu mendapat bagian tempat duduk pada barisan terdepan, padahal itu bukan karna aku datang paling awal lho, hanya sebuah kebiasaan aneh audience yang kerap ku temui ketika mengikuti kajian serupa; "enggan duduk di barisan terdepan". Aku tak tau alasan tepatnya. Padahal menurutku duduk dibarisan terdepan itu adalah pilihan yang sangat menguntungkan dengan berbagai alasan yang tidak akan ku jelaskan disini. Kenapa? Karna aku akan membahas tentang sang pembicara yang menurutku lebih menarik untuk dibahas. Loh kok?! Emang ada apa sih dengan sang pembicara? Pertanyaan yang bagus! Hehe:p Sejak awal beliau membuka forum kajian sore itu, aku merasa mengenal gesture dan style beliau. Sangat tidak asing, karna setiap minggu malam aku melihat gesture dan style yang sama di televisi tapi dalam sosok yang berb

Dear Ayah

Dear Ayah… Ayah, andai aku seorang lelaki aku akan menjadi bujangmu yang tangguh. Tapi sayang, aku adalah seorang perempuan. Andai aku seorang lelaki yah, aku akan merantau jauh dan enggan pulang sebelum bisa membanggakanmu. Tapi aku terlahir sebagai seorang perempuan yah, putri satu-satunya yang kau miliki. Tidak. Kau memang tidak pernah mempermasalahkan apakah aku seorang lelaki atau perempuan. Tapi ayah izinkan aku membayangkan apa yang bisa ku perbuat ketika aku menjadi bujangmu… Dear Ayah… Kau lakukan segalanya untukku.  Kau pernah bilang “Orang tua tidak akan berkata tidak kepada anaknya, selama mereka sanggup melakukannya.” Dan kau melakukannya. Tak jarang aku mengambil keputusan yang tak sesuai dengan harapanmu. Tapi kau selalu menjadi orang pertama yang mendukungku sekaligus menjadi orang pertama yang akan membuka tangan ketika aku gagal. Ayah… Meski aku seorang perempuan. Aku akan selalu berusaha membanggakanmu. Aku akan menukar semua keringatmu dengan senyum b