Cerpen
Novita Hidayani
Aku menyalakan keran pada wastafel,
membasuh sebuah pisau. Sinar matahari pagi yang hangat terpantul berkilau.
***
“Bunuh bapakmu!”
Kali pertama mendengar itu aku tertawa.
Sungguh terdengar seperti guyonan. Membuatku melepaskan genggaman tangannya
yang hanya berupa selapis kulit putih pucat keriput dan tulang.
“Bunuh bapakmu!” Ibu mengulangi
kata-katanya. Kedua matanya yang cekung menatapku tajam. Ada benci yang
terlihat sangat mengerikan tertanam disana, yang akarnya merambat mengeraskan
rahangnya yang biasa terlihat lembut. Aku menelan ludah. Tertawa. Berusaha
tertawa tepatnya. Dan tawa itu terdengar mengerikan diterbangkan angin kering
bulan Juli yang masuk melewati jendela ruangan sempit berukuran 3 x 4 meter
ini.
“Aku akan mati segera. Bunuh bapakmu! Itu
permintaan terakhirku. Wasiat. Bagaimanapun kau harus membunuh laki-laki
jahanam itu. Dengan begitu kesengsaraanku selama ini bisa terbayar, dan
setidaknya aku bisa mati dengan tenang.” Ibu kemudian berbalik menghadap ke
tembok setelah menarik selimut batik cokelatnya hingga ke leher. Suara batuknya
yang seperti sikat kawat yang menggaruk-garuk pantat panci terdengar begitu
menyakitkan.
“Ibu …”
Tak ada jawaban. Sesak menggantung di
langit kamar yang baunya amat sangat memualkan ini; bau minyak kayu putih
bercampur bau obat-obatan kimia maupun herba dan sisa muntahan. Aku mengelus
rambutnya yang tinggal sejumput dan meninggalkannya sendiri.
***
Aku benar-benar mengutuk diri, kenapa saat
itu aku memberitahu ibu bahwa bapak yang telah meninggalkan kami terlunta-lunta
selama 18 tahun telah kembali ke kota kami bersama keluarga barunya yang tampak
begitu bahagia. Andai saja saat itu aku tak memberitahunya, tentu saja ia tak
akan berwasiat untuk membunuh bapak.
Iya.
Ibu akhirnya meninggal sehari setelah itu. Meninggal setelah sekarat yang
terdengar begitu menyakitkan. Aku yang enggan terlihat menangis, malam itu
memilih mengunci pintu kamar dan duduk tercenung dibaliknya, mendengar
perempuan yang telah membesarkanku dengan menjual harga dirinya selama ini
mengerang dan merintih berjibaku dengan malaikat pencabut nyawa, sementara para
tetangga yang kerap menggunjingnya berlomba menuntunnya mengucap dua kalimat
syahadat. Sejam setelah itulah, ibu benar-benar meninggal dengan wajah yang
menyimpan seribu luka.
Tujuh
hari setelah ibu meninggal, malam itu aku seharusnya ikut ritual tujuh harian
di rumah. Tapi aku memilih menikmati semangkuk besar es krim vanilla dengan
sirup blue berry dan sebutir ceri di salah satu kursi kafe dekat jendela, di
lantai paling atas sebuah Mall tempat dulu ibu bekerja. Memilih membiarkan
keramaian mengukung dukaku. Dan membiarkan kenangan-kenangan merayap seperti
kendaraan-kendaraan yang memadati jalan raya di bawah sana.
“Waktu
kecil dulu, kau bayi penyakitan. Hampir setiap hari keluar masuk UGD. Di
saat-saat seperti itu bapakmu malah menghilang entah kemana bersama perempuan
simpanannya tanpa memberiku uang sepeserpun. Sementara aku serasa mau mati
saking cemasnya.”
Bapak
benar-benar meninggalkanku dan ibu ketika usiaku menginjak enam tahun. Sejak
saat itu, ibu selalu memenuhi otakku dengan cerita-cerita bagaimana bapak yang selalu
menyakitinya dan menghancurkan hidup kami. Berharap aku membencinya.
Sepeninggal
Bapak, Ibu yang hanya lulusan sekolah kejuruan kemudian bekerja di salah satu
kafe Mall tempatku menghabiskan malam tujuh hariannya ini. Saban hari sepulang
sekolah, aku akan menunggunya bekerja, duduk manis melihat kendaraan yang lalu
lalang di bawah sana, atau jika bosan aku akan berkeliling Mall dari satu toko
ke toko yang lain sendirian tanpa sepengetahuannya. Begitulah selama beberapa
bulan, Mall ini pernah menjadi rumah keduaku.
Kalau
tidak salah di bulan ketiga ia bekerja, malam itu kami tidak pulang dengan
mobil angkot berwarna kuning yang biasa kami tumpangi. Seorang laki-laki dengan
pakaian necis dan rambut kelimis menunggu kami di parkiran Mall di depan sebuah
mobil sedan yang sangat bagus.
“Alita,
ini om Farhan.” Begitu ibu memperkenalkan laki-laki itu.
Malam
itu kami tidak pulang ke kosan kami. Aku tahu bukan saat aku terbangun di pagi
harinya, melainkan saat laki-laki itu membopongku yang dipikirnya telah tertidur
di jok belakang mobilnya ke dalam sebuah kamar motel bersama ibu. Ia
meletakkanku di sebuah ranjang menghadap ke tembok. Malam itu aku tidak
tertidur. Mataku terbuka menatap dinding berwarna putih gading, tak berani
bergerak sedikitpun mendengarkan suara ranjang di sampingku berderit yang
diikuti suara desahan dan lenguhan ibu. Beberapa waktu setelah kejadian itu
dari gunjingan tetangga-tetangga kami, aku tahu kalau ibuku telah menjadi
perempuan simpanan laki-laki itu, si pemilik kafe tempat ibuku bekerja.
“Jika
ada orang yang patut disalahkan atas kehancuran hidup kita, dialah bapakmu!”
Ibu selalu bilang begitu.
Aku
juga tahu, hal yang paling menyakiti ibu bukanlah karena perubahan hidupnya
itu, tapi bapak yang menghianati cintanyalah yang menjadi penyebab luka yang
tak sembuh-sembuh selama belasan tahun itu. Ibu masih mencintai bapak setelah
semua yang terjadi. Itu fakta yang kutahu. Tak jarang aku yang selalu tidur
dengannya, sebelum TBC mengekspansi paru-parunya, mendengarnya menangis tengah
malam atau melihatnya duduk di depan meja rias kami dengan rokok di tangan
kanannya dan photo bapak di tangan kirinya. Photo yang masih disimpannya dengan
baik bahkan hingga ajal menjemputnya.
“Bagaimana
bisa kamu meninggalkanku seperti itu? Bukankah kau selalu berkata kau sangat
mencintaiku dengan sepenuh hati? Kenapa? Kenapa kau setega itu? Aku sangat
merindukanmu sekarang. Bagaimana ini?!” Lalu suara tangisan ibu yang begitu
memilukan terdengar merobek-robek malam. Aku hanya bisa melihat pantulan
sosoknya yang menangis menatap selembar photo dengan raut wajah yang sangat
memilukan.
Getar
handphoneku kemudian membuyarkan lamunanku. Sebuah pesan singkat. Aku meremas
erat-erat tali tas selempang yang kukenakan. Jantungku berdegub kencang. Di
dalam tas ini ada sebotol sianida dan sebuah pisau dapur yang telah kuasah
sejak tiga hari yang lalu. Setelah membalas pesan singkat itu, aku kemudian
meninggalkan mangkuk es krimku yang telah mencair dengan buah ceri yang
terapung di atasnya. Tak ingin mengulur waktu.
***
Ia
tak butuh waktu banyak untuk mengenaliku. Beberapa detik setelah pintu rumahnya
terbuka dan melihatku sekilas, ia langsung memelukku seakan-akan aku anak yang
selama ini dicarinya, alih-alih telah ditinggalkannya terlunta-lunta selama 18
tahun. Tak banyak yang berubah darinya, selain rambutnya yang mulai dipenuhi
uban dan kerutan di beberapa bagian wajahnya yang membuatnya malah tampak
bersahaja. Ia menatapku dengan tatapan canggung bercampur takjub dan kurasakan
sedikit rindu disana.
“Maaf
aku baru tau kalau ibumu …”
“Tak
apa.”
Ia
menatapku penuh penyesalan. Dari dalam dua anak perempuan yang kira-kira
berusia empat tahun berlarian berebut memelukku. Kembar. Yang satu berbaju
kuning dan yang satunya lagi berbaju pink. Dari dalam seorang perempuan
berteriak memintanya untuk mengajakku masuk.
“Ayo
masuklah. Kami telah menyiapkan kamar untukmu. Kau bisa tidur disini malam ini.
Atau jika kau mau, kau bisa tinggal bersama kami disini.”
Aku
hanya tersenyum mendengar itu. Dua anak kembar itu kemudian menarik kedua tanganku
masuk ke rumah mereka sambil berulang kali menyebut namaku.
Keluarganya
menyambutku hangat, isterinya memperlakukanku dengan baik. Aku lebih banyak
diam memperhatikan keluarga bahagia ini, tak adakah kami, aku dan ibu, yang
membayangi kehidupannya selama ini layaknya hidupku dan ibu yang selalu
dibayang-bayangi ketiadaannya? Menjelang pukul sepuluh aku pamit tidur lebih
dulu, berjanji akan memasak sarapan keesokan harinya. Iya, sarapan seperti yang
telah kurencanakan matang-matang. Ia mencium keningku dan mengucapkan selamat
tidur seperti yang dulu selalu dilakukannya. Batinku terasa bergejolak. Wajah
ibu seketika berkelebat di pelupuk mataku.
“Bunuh
bapakmu!”
***
Aku
menyalakan keran pada wastafel, mencuci bersih asparagus untuk adonan telur
dadar yang kubuat. Suara kaldu ayam yang mendidih terdengar beradu dengan suara
kehidupan yang mulai menggeliat di luar sana. Seekor kucing Persia putih
mengawasiku sejak tadi di atas meja makan. Kedua mata kuning keemasannya
mengikuti setiap gerak-gerikku.
Kuiris
asparagus itu tipis-tipis, sementara bayangan aku mengiris daging bapak dan
keluarga ini terbayang. Mereka akan mati lebih dulu dengan sianida yang akan
kumasukan pada sup dan telur dadar yang kubuat, sehingga saat aku
mengiris-ngiris tubuh mereka nanti, mereka tak perlu merasakan rasa sakit lagi.
Sial! Kenangan saat bapak dulu mengiris-ngiris bawang merah dan memasukannya
kedalam telur dadar kesukaanku tiba-tiba saja kembali berputar. Juga saat ia
mengajariku melipat kertas membentuk serupa perahu dan burung. Tak ketinggalan
saat ia mengajariku bersepeda dulu.
“Bunuh
bapakmu!”
Kenangan
itu kemudian berganti dengan tubuh kurus kering ibu yang dimakan TBC. Disusul
bayangan ibu yang menangis dengan suara yang begitu memilukan hampir setiap
malam. Kupejamkan mata. Terus mengiris-ngiris asparagus tak mempedulikan
tanganku yang teriris. Mereka mulai terbangun. Siap menyantap sarapan pertama
dan terakhir mereka denganku.
***
Aku
melihat mereka satu persatu tumbang dengan bibir yang dipenuhi busa di meja
makan. Aku juga melihat tatapan mata bapak yang meminta pertolongan dan
pengampunan. Tenggorokanku tercekat. Kucing Persia yang sejak tadi mengawasi
setiap gerak-gerakku terus-terusan mengeong mengelilingi meja makan tempat
tubuh mereka yang tak berdaya terkulai.
Aku
berdiri di belakang bapak yang telungkup tak sadarkan diri di kursi makannya.
dengan pisau yang kugenggam erat di tanganku, siap mencabik-cabik atau mungkin
menggorok lehernya bila perlu. Tapi punggung itu. Punggung itu dulu tempatku
selalu bergelayut. Tubuh itu yang dulu selalu mengangkatku dan mengajakku
berlarian di halaman rumah kami. Tanganku terasa lemas. Bayangan wajah ibu yang
penuh luka kembali berkelebat membayang.
Aku
lantas teriak menangis sekeras-kerasnya. Lututku dan tanganku terasa lemas. Aku
berjalan lunglai menuju ke telpon rumah yang ada disudut ruangan. Menelpon agar
ambulan segera datang selagi mereka masih bernafas.
Ruangan
ini kemudian terasa begitu sunyi dan dingin. Hanya detik jam yang berbunyi dan kucing
Persia yang masih terus mengeong.
***
Aku
menyalakan keran pada wastafel, membasuh sebuah pisau. Tak ada darah disana.
Sinar matahari pagi yang hangat terpantul berkilau.
Aku
mengeluarkan botol sianida dari sakuku yang isinya masih tersisa, menatap
dengan kosong ke dalamnya.
Mataram 5/2/2015
Akarpohon Mataram
Komentar
Posting Komentar