Que Sera Sera
Cerpen Novita Hidayani
Sebuah mobil pick up yang membawa
keranjang-keranjang buah jeruk melaju dengan kecepatan tinggi, lalu tiba-tiba
ia terjerembah. Darah, sakit yang luar biasa, sekarat, lalu gelap.
Sebuah senyum penuh kemenangan tersungging
di bibir gadis berpakaian serba hitam itu. Ia menoleh ke kanan, melihat dari
jarak sekian ratus meter, mobil yang baru saja dilihatnya. Tinggal selangkah
lagi melewati garis putih yang ada di hadapannya, lalu ia bisa mewujudkan semua
hal yang telah direncenakannya itu.
“Akanku buktikan bahwa akhir itu bukanlah
sebuah ketetapan.” Lirihnya pelan. Pelan sekali hingga suaranya seketika
tenggelam dalam hingar bingar deru kendaraan yang lalu lalang di hadapannya.
Mobil pick up yang membawa keranjang-keranjang buah itu semakin mendekat.
***
Tahu lebih dulu sebuah akhir yang belum
terjadi itu melelahkan. Sungguh sangat melelahkan. Erika tahu itu. Bagaimana
sejak kecil ia harus hidup dengan disuguhkan pengelihatan-pengelihatan yang
tidak biasa: akhir dari sesuatu.
Saat banyak sekali orang yang begitu tidak
sabaran ingin mengetahui masa depan mereka, ia seperti menanggung sebuah beban
yang tak terkira beratnya. Setiap hari ia harus melihat cuplikan sebuah akhir
yang menari-nari pada setiap kepala yang dijumpainya dimana saja. Di rumah, di
jalanan kota, dimana saja dan pada siapa saja yang ditemuinya. Ingin sekali
rasanya ia lari dari pengelihatan-pengelihatan itu. Tapi kemana? Segala sesuatu
dihadapannya tak ubahnya sebuah ruangan tanpa sekat, telanjang, dan menyuguhkan
segalanya. Bahkan seluruh ruangan di dalam dirinya.
“Wow! Itu kemampuan yang sungguh luar
biasa Erika. Hidupmu sangat luar biasa!” Begitu kata teman masa kecilnya suatu
sore di taman bermain kotanya.
Erika yang saat itu baru berusia 12 tahun
tersenyum hambar. Hidupmu luar biasa?
Remaja yang sebenarnya setahun lebih tua darinya itu tidak benar-benar memahami
apa yang baru saja dikatakannya. Pun dengan orang-orang yang mengetahui
kemampuannya itu. Mereka umumnya akan berkata demikian atau sedikit
dimodifikasi seperti, kau sungguh sangat
spesial Erika atau Tuhan memberikan
mukjizatNya padamu. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sejak awal ia
menyadari kemampuannya itu, hidupnya telah kehilangan sebuah arti.
Yah. Tahu lebih dulu tentang akhir dari
sesuatu itu selain sangat melelahkan juga mencuri arti hidup. Bagaimana mungkin
seseorang mengatakan ‘itu luar biasa’ padahal semangat mereka untuk melakukan
sesuatu pada akhirnya akan berkurang bahkan bisa menghilang tanpa sisa saat
mereka tahu akhirnya lebih dulu?
Seperti saat Erika terpaksa memberi tahu
akhir dari terapi leukemia yang dijalani oleh salah seorang sahabatnya saat
usianya menginjak tahun ke 17.
“Ayolah Erika aku mohon … Kau adalah
sahabatku. Kita telah berteman sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Katakan
padaku apa akhir dari terapi ini?” Gadis cantik yang raganya terlihat ringkih
mengenakan seragam rumah sakit itu memelas menggenggam kedua tangan Erika.
Erika sama sekali tak berani menatap kedua matanya.
“Erika tolong katakan. Baik atau buruk
tidak jadi masalah. Aku hanya lelah menjalani serangkaian terapi ini yang
akhirnya sama sekali tidak jelas. Terapi ini mencuri hidupku.” Gadis itu
terisak. Erika tak sampai hati melihatnya seperti itu. Lalu, meski ragu dan
takut, saat itu ia mengatakan apa yang dilihatnya. Bahwa tak akan ada lagi
terapi menyakitkan yang membuat gadis itu sering mimisan dan merontokkan
seluruh rambutnya.
“Kematian …” Suara Erika terdengar
bergetar karena takut. “ Rabu 8 April,
2006: 17.50 WITA.”
Lalu seperti yang dapat ditebak. Genggaman
tangan gadis itu melemah, kemampuan berbicaranya seperti lumpuh, dan semangat
hidupnya seperti lebih dulu dicabut oleh Izrail dari dalam dirinya.
Saat itu Erika seharusnya tak mengatakan
apa yang dilihatnya. Gadis itu, meski dokter telah lebih dulu memberi tahukan
15% kemungkinan untuk hidup, tidak seharusnya tahu akhir dari perjuangannya.
Meski pada akhirnya perjuangannya tak membuahkan hasil, setidaknya perjuangan
itu adalah arti dalam hidupnya. Tapi gadis itu menyerah dan membiarkan hidupnya
benar-benar kehilangan arti.
Atau yang tak kalah menyakitkan, saat ia
harus tahu lebih dulu akhir dari hubungannya dengan laki-laki yang dicintainya
sejak kecil. Laki-laki dengan tatapan sedalam lautan. Cinta pertamanya itu.
“Kita akan berakhir selamanya?”
Erika mengangguk bahagia tetapi dengan
cepat berubah ketika ia menangkap sekilas ada gusar di wajah laki-laki itu. Dan
sekelebat adegan lain terlihat menyilaukan mata. Sebuah koper yang diseret,
lambaian tangan, dan pesawat yang lepas landas.
“Tapi selamanya membuatmu akan pergi untuk
beberapa waktu dan mengabaikanku.”
Dan benar saja. Tak berapa lama laki-laki
itu kemudian pamit melanjutkan studinya ke ibu kota meninggalkan Erika. Tak ada
yang salah dengan itu tentunya, selama hubungan mereka masih terus terjalin.
Tetapi Erika tak tau harus dibawa kemana perasaan terabaikannya itu dan ia tak
tau bagaimana cara mengutarakannya. Meski laki-laki itu selalu mengatakan,
percayalah aku akan kembali lagi dan kita akan menjalani selamanya itu. Oh,
akankah otaknya benar-benar bersih dari rasa curiga?
***
Lelah. Sungguh lelah rasanya. Seakan-akan
kau ingin tidur pada suatu malam dan terbangun saat dimana kemampuan itu tak
lagi kau miliki. Dan dunia berputar sebagaimana mestinya. Atau saat dimana kau
benar-benar sendirian dan tak ada orang yang dapat kau lihat akhirnya.
Erika melihat akhir seluruh orang-orang
yang ada di dekatnya bahkan orang yang tak dikenalnya sekalipun. Erika telah
tahu lebih dulu bagaimana kucing kesayangannya mati ditabrak sekuter
tetangganya, kepergian lelaki yang dicintainya, bisnis orang tuanya yang hancur
yang membuat ayahnya frustasi dan bunuh diri. Erika juga tahu lebih dulu
bagaimana ibunya kemudian menikah lagi dengan laki-laki yang tidak bertanggung
jawab, yang kemudian menjual Erika sebagai peramal dan menghabiskan masa-masa
mudanya dengan melihat hal yang paling dibenci dalam hidupnya: akhir dari
sesuatu. Erika benar-benar muak dengan hal itu.
Sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk
mengakhiri segalanya. Ia benar-benar telah lelah dan muak. Kemampuanya telah
mencuri arti dari hidupnya. Sebenarnya bukan hanya sekali saja Erika
merencanakan ini, sudah berkali-kali dengan berbagai variasi. Tapi baru kali
ini ia merasakan kemantapan akan keputusannya. Meski ia tahu apa yang akan
dilakukannya kali ini tak akan ada yang menyetujuinya. Dunia dan seluruh isinya
akan mengutuk dirinya. Keputusan untuk mendahului takdirNya.
***
Sebuah mobil pick up yang membawa
keranjang-keranjang buah jeruk melaju dengan kecepatan tinggi, lalu tiba-tiba
ia terjerembah. Darah, sakit yang luar biasa, sekarat, lalu gelap.
Sudah hampir 30 menit Erika berdiri
dipinggir jalan. Seorang ibu-ibu penunggu warung diseberang jalan sampai
menatapnya aneh. Erika tak peduli. Ia hanya ingin menikmati detik-detik
terakhir dalam hidupnya sebelum ia merasakan hukuman Tuhan atas kelancangannya
mendahului takdirNya. Ia hanya ingin Tuhan tahu bahwa inilah bentuk protesnya
atas ketidak inginannya akan kemampuan itu. Sayup-sayup suara paduan suara
anak-anak terdengar dari sebuah taman kanak-kanak yang berada tak jauh dari
tempat Erika berdiri.
Mobil
pick up yang membawa keranjang-keranjang buah itu semakin mendekat. Dan
semuanya terjadi dengan begitu cepat.
***
Waktu seakan berhenti berjalan. Tak ada
suara kecuali suara detak jantung Erika yang semakin kencang berpacu. Apa yang
baru saja terjadi? Apa yang sekarang terhampar di pandangannya? Erika
mengumpulkan seluruh kesadarannya untuk mencerna.
Sebuah mobil pick up yang membawa
keranjang-keranjang buah jeruk melaju dengan kecepatan tinggi, lalu tiba-tiba
ia terjerembah. Darah, sakit yang luar biasa, sekarat, lalu gelap.
Tapi dia baik-baik saja, hanya duduk terjerembah karena sebuah tarikan.
Sementara di hadapannya terpapar sebuah kecelakan hebat. Jeruk-jeruk
bergelindingan di jalan, mobil pick up itu menabrak sebuah mobil lain di seberang
jalan, lalu mobil itu menabrak warung yang ada di hadapannya. Ibu-ibu yang tadi
menatapnya aneh terkapar dilindas roda mobil itu, darah tergenang di
sekitarnya, sementara wajahnya yang terlihat penuh amarah menghadap Erika
dengan kedua mata yang masih terbuka. Kengerian mencekik Erika. Lalu suara
paduan suara anak-anak TK itu semakin jelas terdengar.
“Que sera, sera… whatever will be will be,
the future not us to see, que sera sera….”
Tangis Erika seketika pecah.
Kediri, 16 Desember, 2014
Komentar
Posting Komentar