Langsung ke konten utama

Que Sera Sera (Suara NTB, 14-Feb-15)



     Que Sera Sera
Cerpen Novita Hidayani

      Sebuah mobil pick up yang membawa keranjang-keranjang buah jeruk melaju dengan kecepatan tinggi, lalu tiba-tiba ia terjerembah. Darah, sakit yang luar biasa, sekarat, lalu gelap.
     Sebuah senyum penuh kemenangan tersungging di bibir gadis berpakaian serba hitam itu. Ia menoleh ke kanan, melihat dari jarak sekian ratus meter, mobil yang baru saja dilihatnya. Tinggal selangkah lagi melewati garis putih yang ada di hadapannya, lalu ia bisa mewujudkan semua hal yang telah direncenakannya itu.
     “Akanku buktikan bahwa akhir itu bukanlah sebuah ketetapan.” Lirihnya pelan. Pelan sekali hingga suaranya seketika tenggelam dalam hingar bingar deru kendaraan yang lalu lalang di hadapannya. Mobil pick up yang membawa keranjang-keranjang buah itu semakin mendekat.
***
     Tahu lebih dulu sebuah akhir yang belum terjadi itu melelahkan. Sungguh sangat melelahkan. Erika tahu itu. Bagaimana sejak kecil ia harus hidup dengan disuguhkan pengelihatan-pengelihatan yang tidak biasa: akhir dari sesuatu.
     Saat banyak sekali orang yang begitu tidak sabaran ingin mengetahui masa depan mereka, ia seperti menanggung sebuah beban yang tak terkira beratnya. Setiap hari ia harus melihat cuplikan sebuah akhir yang menari-nari pada setiap kepala yang dijumpainya dimana saja. Di rumah, di jalanan kota, dimana saja dan pada siapa saja yang ditemuinya. Ingin sekali rasanya ia lari dari pengelihatan-pengelihatan itu. Tapi kemana? Segala sesuatu dihadapannya tak ubahnya sebuah ruangan tanpa sekat, telanjang, dan menyuguhkan segalanya. Bahkan seluruh ruangan di dalam dirinya.
     “Wow! Itu kemampuan yang sungguh luar biasa Erika. Hidupmu sangat luar biasa!” Begitu kata teman masa kecilnya suatu sore di taman bermain kotanya.
     Erika yang saat itu baru berusia 12 tahun tersenyum hambar. Hidupmu luar biasa? Remaja yang sebenarnya setahun lebih tua darinya itu tidak benar-benar memahami apa yang baru saja dikatakannya. Pun dengan orang-orang yang mengetahui kemampuannya itu. Mereka umumnya akan berkata demikian atau sedikit dimodifikasi seperti, kau sungguh sangat spesial Erika atau Tuhan memberikan mukjizatNya padamu. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa sejak awal ia menyadari kemampuannya itu, hidupnya telah kehilangan sebuah arti.
     Yah. Tahu lebih dulu tentang akhir dari sesuatu itu selain sangat melelahkan juga mencuri arti hidup. Bagaimana mungkin seseorang mengatakan ‘itu luar biasa’ padahal semangat mereka untuk melakukan sesuatu pada akhirnya akan berkurang bahkan bisa menghilang tanpa sisa saat mereka tahu akhirnya lebih dulu?
     Seperti saat Erika terpaksa memberi tahu akhir dari terapi leukemia yang dijalani oleh salah seorang sahabatnya saat usianya menginjak tahun ke 17.
     “Ayolah Erika aku mohon … Kau adalah sahabatku. Kita telah berteman sejak duduk di bangku taman kanak-kanak. Katakan padaku apa akhir dari terapi ini?” Gadis cantik yang raganya terlihat ringkih mengenakan seragam rumah sakit itu memelas menggenggam kedua tangan Erika. Erika sama sekali tak berani menatap kedua matanya.
     “Erika tolong katakan. Baik atau buruk tidak jadi masalah. Aku hanya lelah menjalani serangkaian terapi ini yang akhirnya sama sekali tidak jelas. Terapi ini mencuri hidupku.” Gadis itu terisak. Erika tak sampai hati melihatnya seperti itu. Lalu, meski ragu dan takut, saat itu ia mengatakan apa yang dilihatnya. Bahwa tak akan ada lagi terapi menyakitkan yang membuat gadis itu sering mimisan dan merontokkan seluruh rambutnya.
     “Kematian …” Suara Erika terdengar bergetar karena takut. “ Rabu 8 April, 2006: 17.50 WITA.”
     Lalu seperti yang dapat ditebak. Genggaman tangan gadis itu melemah, kemampuan berbicaranya seperti lumpuh, dan semangat hidupnya seperti lebih dulu dicabut oleh Izrail dari dalam dirinya.
     Saat itu Erika seharusnya tak mengatakan apa yang dilihatnya. Gadis itu, meski dokter telah lebih dulu memberi tahukan 15% kemungkinan untuk hidup, tidak seharusnya tahu akhir dari perjuangannya. Meski pada akhirnya perjuangannya tak membuahkan hasil, setidaknya perjuangan itu adalah arti dalam hidupnya. Tapi gadis itu menyerah dan membiarkan hidupnya benar-benar kehilangan arti.
     Atau yang tak kalah menyakitkan, saat ia harus tahu lebih dulu akhir dari hubungannya dengan laki-laki yang dicintainya sejak kecil. Laki-laki dengan tatapan sedalam lautan. Cinta pertamanya itu.
     “Kita akan berakhir selamanya?”
     Erika mengangguk bahagia tetapi dengan cepat berubah ketika ia menangkap sekilas ada gusar di wajah laki-laki itu. Dan sekelebat adegan lain terlihat menyilaukan mata. Sebuah koper yang diseret, lambaian tangan, dan pesawat yang lepas landas.
     “Tapi selamanya membuatmu akan pergi untuk beberapa waktu dan mengabaikanku.”
     Dan benar saja. Tak berapa lama laki-laki itu kemudian pamit melanjutkan studinya ke ibu kota meninggalkan Erika. Tak ada yang salah dengan itu tentunya, selama hubungan mereka masih terus terjalin. Tetapi Erika tak tau harus dibawa kemana perasaan terabaikannya itu dan ia tak tau bagaimana cara mengutarakannya. Meski laki-laki itu selalu mengatakan, percayalah aku akan kembali lagi dan kita akan menjalani selamanya itu. Oh, akankah otaknya benar-benar bersih dari rasa curiga?
***
     Lelah. Sungguh lelah rasanya. Seakan-akan kau ingin tidur pada suatu malam dan terbangun saat dimana kemampuan itu tak lagi kau miliki. Dan dunia berputar sebagaimana mestinya. Atau saat dimana kau benar-benar sendirian dan tak ada orang yang dapat kau lihat akhirnya.
     Erika melihat akhir seluruh orang-orang yang ada di dekatnya bahkan orang yang tak dikenalnya sekalipun. Erika telah tahu lebih dulu bagaimana kucing kesayangannya mati ditabrak sekuter tetangganya, kepergian lelaki yang dicintainya, bisnis orang tuanya yang hancur yang membuat ayahnya frustasi dan bunuh diri. Erika juga tahu lebih dulu bagaimana ibunya kemudian menikah lagi dengan laki-laki yang tidak bertanggung jawab, yang kemudian menjual Erika sebagai peramal dan menghabiskan masa-masa mudanya dengan melihat hal yang paling dibenci dalam hidupnya: akhir dari sesuatu. Erika benar-benar muak dengan hal itu.
      Sampai pada akhirnya ia memutuskan untuk mengakhiri segalanya. Ia benar-benar telah lelah dan muak. Kemampuanya telah mencuri arti dari hidupnya. Sebenarnya bukan hanya sekali saja Erika merencanakan ini, sudah berkali-kali dengan berbagai variasi. Tapi baru kali ini ia merasakan kemantapan akan keputusannya. Meski ia tahu apa yang akan dilakukannya kali ini tak akan ada yang menyetujuinya. Dunia dan seluruh isinya akan mengutuk dirinya. Keputusan untuk mendahului takdirNya.
***
     Sebuah mobil pick up yang membawa keranjang-keranjang buah jeruk melaju dengan kecepatan tinggi, lalu tiba-tiba ia terjerembah. Darah, sakit yang luar biasa, sekarat, lalu gelap.
     Sudah hampir 30 menit Erika berdiri dipinggir jalan. Seorang ibu-ibu penunggu warung diseberang jalan sampai menatapnya aneh. Erika tak peduli. Ia hanya ingin menikmati detik-detik terakhir dalam hidupnya sebelum ia merasakan hukuman Tuhan atas kelancangannya mendahului takdirNya. Ia hanya ingin Tuhan tahu bahwa inilah bentuk protesnya atas ketidak inginannya akan kemampuan itu. Sayup-sayup suara paduan suara anak-anak terdengar dari sebuah taman kanak-kanak yang berada tak jauh dari tempat Erika berdiri.
      Mobil pick up yang membawa keranjang-keranjang buah itu semakin mendekat. Dan semuanya terjadi dengan begitu cepat.
***
     Waktu seakan berhenti berjalan. Tak ada suara kecuali suara detak jantung Erika yang semakin kencang berpacu. Apa yang baru saja terjadi? Apa yang sekarang terhampar di pandangannya? Erika mengumpulkan seluruh kesadarannya untuk mencerna.
     Sebuah mobil pick up yang membawa keranjang-keranjang buah jeruk melaju dengan kecepatan tinggi, lalu tiba-tiba ia terjerembah. Darah, sakit yang luar biasa, sekarat, lalu gelap. Tapi dia baik-baik saja, hanya duduk terjerembah karena sebuah tarikan. Sementara di hadapannya terpapar sebuah kecelakan hebat. Jeruk-jeruk bergelindingan di jalan, mobil pick up itu menabrak sebuah mobil lain di seberang jalan, lalu mobil itu menabrak warung yang ada di hadapannya. Ibu-ibu yang tadi menatapnya aneh terkapar dilindas roda mobil itu, darah tergenang di sekitarnya, sementara wajahnya yang terlihat penuh amarah menghadap Erika dengan kedua mata yang masih terbuka. Kengerian mencekik Erika. Lalu suara paduan suara anak-anak TK itu semakin jelas terdengar.
     “Que sera, sera… whatever will be will be, the future not us to see, que sera sera….”
     Tangis Erika seketika pecah.

Kediri, 16 Desember, 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layang-layang yang Terlambat Pulang (Lombok post Minggu, 12 Juni 2016)

Cerpen Novita Hidayani Beberapa hari ini aku melihat sebuah layang-layang yang selalu terlambat pulang. Menjelang magrib, semua layang-layang biasanya akan diturunkan dan pulang bersama pemiliknya ke rumah masing-masing. Tetapi layang-layang itu, meski langit telah menghitam, ia masih saja mengudara. Ia seperti enggan untuk pulang. *** Meski tak pernah dapat memainkannya, sejak kecil aku selalu suka melihat layang-layang terbang di langit. Entah langit sedang sebiru samudera, atau seoranye telur setengah matang. Senang sekali rasanya melihat benda tipis berwarna-warni, kadang berekor panjang itu   mengambang di udara. Kadang diam seperti petapa, kadang meliuk-liuk seperti ular, dan kadang beradu seperti domba Sore ini aku duduk di balkon kamar kontrakkanku. Sudah lama sekali rasanya aku tak melakukan ini, ngemil sambil menyaksikan layang-layang bertebangan di langit. Ditemani burung-burung gereja pada kabel-kabel listrik yang malang melintang di hadapan balkon dan

Whatever just be your self!

Sore itu seperti biasa, aku menghadiri acara kajian rutin yang diadakan oleh sebuah organisasi nirlaba di kota tempat ku menuntut ilmu. Dan seperti biasa aku selalu mendapat bagian tempat duduk pada barisan terdepan, padahal itu bukan karna aku datang paling awal lho, hanya sebuah kebiasaan aneh audience yang kerap ku temui ketika mengikuti kajian serupa; "enggan duduk di barisan terdepan". Aku tak tau alasan tepatnya. Padahal menurutku duduk dibarisan terdepan itu adalah pilihan yang sangat menguntungkan dengan berbagai alasan yang tidak akan ku jelaskan disini. Kenapa? Karna aku akan membahas tentang sang pembicara yang menurutku lebih menarik untuk dibahas. Loh kok?! Emang ada apa sih dengan sang pembicara? Pertanyaan yang bagus! Hehe:p Sejak awal beliau membuka forum kajian sore itu, aku merasa mengenal gesture dan style beliau. Sangat tidak asing, karna setiap minggu malam aku melihat gesture dan style yang sama di televisi tapi dalam sosok yang berb

Dear Ayah

Dear Ayah… Ayah, andai aku seorang lelaki aku akan menjadi bujangmu yang tangguh. Tapi sayang, aku adalah seorang perempuan. Andai aku seorang lelaki yah, aku akan merantau jauh dan enggan pulang sebelum bisa membanggakanmu. Tapi aku terlahir sebagai seorang perempuan yah, putri satu-satunya yang kau miliki. Tidak. Kau memang tidak pernah mempermasalahkan apakah aku seorang lelaki atau perempuan. Tapi ayah izinkan aku membayangkan apa yang bisa ku perbuat ketika aku menjadi bujangmu… Dear Ayah… Kau lakukan segalanya untukku.  Kau pernah bilang “Orang tua tidak akan berkata tidak kepada anaknya, selama mereka sanggup melakukannya.” Dan kau melakukannya. Tak jarang aku mengambil keputusan yang tak sesuai dengan harapanmu. Tapi kau selalu menjadi orang pertama yang mendukungku sekaligus menjadi orang pertama yang akan membuka tangan ketika aku gagal. Ayah… Meski aku seorang perempuan. Aku akan selalu berusaha membanggakanmu. Aku akan menukar semua keringatmu dengan senyum b