Nona
Menunggu
Cerpen
Novita Hidayani
Alih-alih membawamu pergi berobat ke Surabaya, Jakarta, atau ke Singapura, aku justru menemukan
obat termujarab untuk tidur panjangmu itu di sebuah rumah makan yang terkenal
dengan bebalung kudanya. Di pinggiran
kota Mataram, jalur terminal Swete,
tepat di perbatasan Lombok Barat dan kota Mataram. Saat bertemu dengan seorang
perempuan yang terkenal dengan julukan Si Nona Menunggu.
***
Sayang, kau tahu?
Aku telah melakukan berbagai cara untuk membuatmu terbangun. Menguras habis apa
yang kita miliki untuk membawamu ke tempat pengobatan terbaik, tak peduli
sejauh apapun itu, ke tempat-tempat yang tak masuk akal sekalipun, bahkan
sampai melewati batasan agama kita dengan menggadaikan 40 hari shalatku. Aku
yakin, kau tahu
itu. Meski secara biologis tubuhmu tak mau terbangun dari tidur panjang yang
melelahkan itu, tapi aku yakin kamu, dirimu yang jauh lebih utuh dari raga yang
bekerja secara biologis itu, masih terjaga menyadari usahaku.
Dan kau pasti juga tahu apa yang mereka minta padaku waktu
itu. Eutanasia?! Mereka gila!
Malam di mana
orang tuamu sendiri yang meminta untuk mengakhiri hidupmu itu, aku begitu
geram. Tak pernah kurasakan amarah seperti itu. Badanku terasa menggigil, panas
hingga ke ubun-ubun, rahangku mengeras, tanganku terkepal ingin memukul apa
saja yang ada di dekatku. Bagaimana mungkin aku mengakhiri hidup orang yang
sangat kucintai?
Malam itulah aku kemudian bertemu dengan
seseorang yang kemudian mengantarkanku pada si Nona Menunggu. Aku bertemu
dengannya di kantin rumah sakit. Saat aku duduk, masih dengan amarah dan rasa
putus asa, sambil meremas kaleng minuman yang telah kutandaskan isinya,
laki-laki kurus dengan kulit putih pucat yang terlihat seumuran denganku itu
duduk di sebelahku.
“Kau tak mengenalku, tapi aku mengenalmu Bara. Oh, aku lupa, kau cukup terkenal di rumah
sakit ini, yang sudah seperti rumahmu sendiri ini, hahaha, tujuh tahun heh?” Ia
tergelak sendiri. Melihat wajah tirusnya dan mendengar suaranya entah mengapa
sedikit bisa mendamaikanku. Sama sekali tidak menimbulkan perasaan risih. Seperti
mendengar suara jangkrik
dan kodok setelah hujan di malam saat kita masih saling mengasihi dulu. Jarang
sekali menemukan orang dengan aura seperti itu.
“Aku tahu
kau sedang mengalami situasi yang sulit, kau sedang dihadapkan pada pilihan yang begitu pahit. Aku tak
bisa membantumu apa-apa selain berempati.” Ia kemudian menepuk-nepuk pundakku
pelan, seakan-akan ia telah berteman denganku sangat lama.
“Tapi ini mungkin bisa sedikit meringankan perasaan sedih tak
tertahankanmu itu.” Kedua matanya yang tampak serimbun jalanan pusuk yang selalu kita lewati saat
pulang ke kampung halamanmu itu menatapku sungguh-sungguh.
“Besok, kau pergilah ke Swete. Kau pasti tahu daerah pinggiran kota Mataram itu,
tepat di perbatasan Lombok Barat dan Mataram. Di sana
ada sebuah rumah makan yang terkenal dengan bebalung
kudanya. Biasanya pukul 10 pagi, kau
akan bertemu dengan seorang perempuan yang terkenal dengan sebutan Nona Menunggu di sana.”
“Nona Menunggu?”
“Ya. Orang-orang menjulukinya Nona Menunggu tapi tak jelas apa atau
siapa yang tengah ditunggu perempuan itu.”
***
Jika kau tak tertidur, mungkin kau akan menertawakanku saat itu. Aku tahu, pergi mencari tahu apa yang tengah ditunggu seorang
perempuan yang dijuluki nona menunggu itu tak bisa membuatmu terbangun. Tapi
mungkin karena aku telah melakukan segala hal, benar-benar telah segalanya, dan
aku berada pada titik di mana
keputus asaan begitu terang menyilaukan, yang kemudian membawa langkahku
mengunjungi Si
Nona Menunggu. Mungkin bisa sebagai peringan
perasaan sedih seperti yang dikatakan laki-laki itu, pikirku.
Lalu keesokan harinya, aku izin pulang lebih cepat dari kantor hanya
untuk pergi menemuinya. Ba’da zuhur, saat pertama kali sampai di rumah makan
itu, mataku bisa langsung mengenalinya di antara ramainya pengunjung yang
menyantap makan siang mereka. Hanya dia sosok yang tampak tengah menunggu.
Perempuan itu belakangan kutahu berusia 47 tahun, kau pasti setuju
denganku bahwa ia masih terlihat cantik untuk ukuran perempuan seusianya.
Tubuhnya proporsional,
dengan rambut lurus sebahu di mana
beberapa uban terlihat malu-malu menyembul. Keramaian rumah makan dan suara
deru kendaraan di luar sana sama sekali tidak mengusiknya. Aku mendekatinya dan
meminta izin duduk di hadapannya.
“Nona Menunggu tak pernah berbicara dengan siapapun, Pak.” Seorang pelayan laki-laki yang
terlihat masih muda menghampiriku dengan senyum, menyodorkan papan menu. Aku
menatap Nona Menunggu, tapi pandangannya jauh ke luar jendela, menembus
padi-padi menguning yang siap panen, menembus pohon-pohon kesturi yang berjejer, menembus langit biru
yang terang benderang.
“Bapak mau pesan apa? Selagi makan nanti, saya akan menceritakan tentang
Nona Menunggu.”
Aku tersenyum, lantas duduk di hadapan Nona Menunggu dan mengambil papan
menu. Setelah memesan seporsi bebalung
kuda dengan nasi dan semangkuk es campur, aku duduk dengan tidak sabar menatap
Nona Menunggu yang masih memandang jauh ke luar jendela sambil sesekali
membenarkan cara duduknya, sama sekali tak menghiraukan kehadiranku.
Tak berapa lama, pelayan tadi datang dengan nampan pesananku. Dan cerita
tentang Nona Menunggu pun dimulai, tepat saat pertama kali kuah bebalung kuda yang gurih itu menjalari
lidahku. Aku merasa geli sendiri, apa Nona Menunggu memang dikomersialkan oleh
rumah makan ini? Tapi apapun itu, aku sedikit antusias.
“Semua orang yang datang ke sini
untuk mencari tahu
apa atau siapa yang tengah ditunggu Nona Menunggu pasti menebak pertama kali
bahwa ia tengah menunggu kekasihnya.” Pelayan itu menatapku, mencari
pembenaran. Aku tertawa kecil mengiyakan, sambil terus menyendok mangkuk bebalungku.
“Nona Menunggu sekarang berusia 47 tahun. Dia tinggal tak jauh dari
sini. 25 Tahun yang lalu dia menikah dengan seorang sopir bus Lombok-Sumbawa yang sering makan siang
di sini. Setelah dua tahun pernikahannya
dan dikaruniai seorang putra, suaminya pada suatu perjalanan tak kunjung pulang.
Benar memang, dulu, Nona Menunggu pernah
menunggu kekasihnya, yang tak lain adalah suaminya, hampir selama delapan
tahun. Tapi pada akhirnya sebelum genap delapan tahun menunggu, suaminya pulang
juga. Suaminya masih setia mendampinginya sampai sekarang. Jadi dia tak sedang
menunggu kekasihnya.”
“Sekembali suaminya yang ternyata telah mengalami kecelakaan sehingga
membuatnya lumpuh, keluarga Nona Menunggu dihadapi oleh permasalahan ekonomi
yang mencekik. Nona Menunggu
tiba-tiba harus menjadi tulang punggung keluarganya. Maka Nona Menunggu menjadi
penjual pelecing, urap-urap, weci, lupis, dan serabi keliling. Saban hari ia
menaruh bakul besar yang berisi dagangannya di kepalanya dan berjalan ke
kampung-kampung untuk menjajakannya. Nona Menunggu begitu gigih berdagang. Awalnya
hanya sebagai pedagang keliling, lalu karena semakin banyak pembelinya, Nona
Menunggu membuka warung di rumahnya. Pelan-pelan ia kemudian bisa membuka toko
kecil-kecilan. Selama hampir lima tahun jatuh bangun berdagang, ia kemudian
berhasil membeli tanah di pinggir jalan dan membuka toko besar. Jika Bapak
lewat perempatan Bengkel itu, toko besar itulah milik Nona Menunggu. Bahkan
lima tahun yang lalu, rumah makan ini telah menjadi miliknya. Jadi Nona
Menunggu tidak sedang menunggu kesuksesannya.”
“Jadi perempuan ini dijuluki Nona Menungu karena telah menunggu dalam
jangka waktu yang lama dalam hidupnya?” tanyaku,
sambil memikirkan,
berarti tak lama lagi aku akan mendapatkan julukan Tuan Menunggu juga.
“Bukan, Pak. Bisa saya lanjutkan?”
“Baiklah.” Aku mulai tak sabar.
“Lalu setelah menunggu suaminya selama hampir delapan tahun dan menunggu
kesuksesannya selama lima tahun setelah jatuh bangun. Di usianya yang ke 38
tahun, Nona Menunggu harus kembali menunggu bije
satu-satunya yang memilih kuliah di Pulau
Jawa. Konon kata teman-temannya, bije Nona Menunggu begitu nakal, tidak
serius kuliah, kerjaannya berfoya-foya, padahal sebelumnya ia begitu
penurut dan alim. Nah, selama bertahun-tahun Nona Menunggu menunggu kedatangan
anak lelakinya itu. Tapi di usianya yang ke 45 tahun, di hari pertama lebaran, anak
laki-lakinya pulang juga, tak tanggung-tanggung memboyong istrinya yang cantik
dan seorang cucu yang lucu untuk Nona Menunggu. Jadi, Nona Menunggu akhirnya
mengakhiri penantian kedatangan anak semata wayangnya itu.”
“Lantas apa yang sebenarnya tengah ditunggu Nona menunggu sekarang?” tanyaku tak sabar. Pelayan itu tersenyum
lebar.
“Sampai di sini,
apa bapak masih belum bisa menebak apa atau siapa yang tengah ditunggu Nona
Menunggu?” Ia balik bertanya. Aku menggeleng dengan ringan.
“Baiklah kalau yang terakhir. Semua hal yang ditunggu
oleh Nona Menunggu telah terpenuhi. Tak ada lagi yang ditunggunya. Jadi apa
yang tengah ditunggu oleh Nona Menunggu, Pak?”
Aku meregangkan tubuhku “Apa?” tanyaku. Terlalu banyak hal yang tengah
kupikirkan. Malas berpikir lebih tepatnya.
“Banyak orang yang benci menunggu di dunia ini, padahal mereka tak
sadar, memiliki sesuatu untuk ditungggu adalah hal yang berarti dalam hidup.
Nona Menunggu tengah menunggu sesuatu untuk ditunggu, Pak…”
Siang selalu panas membakar di tempat ini. Suara bus-bus dan
truk-truk besar yang sekiranya baru turun dari pelabuhan Lembar
terdengar menderu melewati rumah makan ini. Getarnya terasa menyentuh telapak
kaki. Begitu juga dengan getar yang dihasilkan oleh fakta yang baru saja
kudengar.
Kau tahu?
Sungguh kau pasti tahu.
Aku akan tetap menunggumu terbangun.
Kediri, 10 Juni 2015
Akarpohon
Mataram
Komentar
Posting Komentar