Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Januari, 2016

Wasiat Membunuh Bapak (Lombok Post, 8-Nov-2015)

Wasiat Membunuh Bapak Cerpen Novita Hidayani      Aku menyalakan keran pada wastafel, membasuh sebuah pisau. Sinar matahari pagi yang hangat terpantul berkilau. ***      “Bunuh bapakmu!”      Kali pertama mendengar itu aku tertawa. Sungguh terdengar seperti guyonan. Membuatku melepaskan genggaman tangannya yang hanya berupa selapis kulit putih pucat keriput dan tulang.      “Bunuh bapakmu!” Ibu mengulangi kata-katanya. Kedua matanya yang cekung menatapku tajam. Ada benci yang terlihat sangat mengerikan tertanam disana, yang akarnya merambat mengeraskan rahangnya yang biasa terlihat lembut. Aku menelan ludah. Tertawa. Berusaha tertawa tepatnya. Dan tawa itu terdengar mengerikan diterbangkan angin kering bulan Juli yang masuk melewati jendela ruangan sempit berukuran 3 x 4 meter ini.      “Aku akan mati segera. Bunuh bapakmu! Itu permintaan terakhirku. Wasiat. Bagaimanapun kau harus membunuh laki-laki jahanam itu. Dengan begitu kesengsaraanku selama ini bisa terba

Tamasya Kesepian (Suara NTB 31-Okt-2015)

Tamasya Kesepian Cerpen Novita Hidayani      “Kau merasa kesepian?”      Aku tergagap dari lamunanku di bawah jendela. Menoleh kesana kemari mencari sumber suara. Kosong. Kamarku kosong. Hanya ada aku yang duduk memeluk lutut dan memikirkan banyak hal di sini. Siapa tadi yang bertanya? Hanya aku sendirian di rumah ini. Angin malam berhembus meniup gorden abu-abu yang tersingkap menyuguhkan hamparan langit malam bulan Juli yang terang di luar jendela. Bintang-bintang satu dua bercengkrama dengan awan cumulus , dan blue moon berpijar sempurna.      “Kau sendirian?” Suara itu kembali terdengar. Seperti menggema dalam ruangan kosong yang maha luas.      Kesadaranku lebih dari sepenuhnya. Mataku sigap mengitari ruang kamarku yang tak seberapa luas, menyapu setiap sudut, kolong meja, atas lemari, hingga ke langit-langit. Siapa ta h u sesosok wanita dengan rambut hitam panjang bergaun putih dengan lekuk mata hitam tengah memperhatikanku dari suatu tempat dan hendak berko

Nona Menunggu (Sinar Harapan, Agustus 2015)

Nona Menunggu Cerpen Novita Hidaya ni      Alih-alih membawamu pergi berobat ke Surabaya, Jakarta, atau ke Singapura, aku justru menemukan obat termujarab untuk tidur panjangmu itu di sebuah rumah makan yang terkenal dengan bebalung kudanya. Di pinggiran kota Mataram, jalur terminal Swet e , tepat di perbatasan Lombok Barat dan kota Mataram. Saat bertemu dengan seorang perempuan yang terkenal dengan julukan Si Nona Menunggu. ***      Sayang, kau ta h u? Aku telah melakukan berbagai cara untuk membuatmu terbangun. Menguras habis apa yang kita miliki untuk membawamu ke tempat pengobatan terbaik, tak peduli sejauh apapun itu, ke tempat-tempat yang tak masuk akal sekalipun, bahkan sampai melewati batasan agama kita dengan menggadaikan 40 hari shalatku. Aku yakin, kau ta h u itu. Meski secara biologis tubuhmu tak mau terbangun dari tidur panjang yang melelahkan itu, tapi aku yakin kamu, dirimu yang jauh lebih utuh dari raga yang bekerja secara biologis itu, masih terjaga me