Tamasya Kesepian
Cerpen Novita Hidayani
“Kau merasa kesepian?”
Aku tergagap dari
lamunanku di bawah jendela. Menoleh kesana kemari mencari sumber suara. Kosong.
Kamarku kosong. Hanya ada aku yang duduk memeluk lutut dan memikirkan banyak
hal di sini. Siapa tadi yang bertanya? Hanya
aku sendirian di rumah ini.
Angin malam berhembus meniup gorden abu-abu
yang tersingkap menyuguhkan hamparan langit malam bulan Juli yang terang di
luar jendela. Bintang-bintang satu dua bercengkrama dengan awan cumulus, dan blue moon berpijar sempurna.
“Kau sendirian?” Suara
itu kembali terdengar. Seperti menggema dalam ruangan kosong yang maha luas.
Kesadaranku lebih dari
sepenuhnya. Mataku sigap mengitari ruang kamarku yang tak seberapa luas,
menyapu setiap sudut, kolong meja, atas lemari, hingga ke langit-langit. Siapa
tahu sesosok wanita
dengan rambut hitam panjang bergaun putih dengan lekuk mata hitam tengah
memperhatikanku dari suatu tempat dan hendak berkomunikasi denganku. Tapi hanya
keheningan yang tertangkap. Ah! Mungkin khayalanku
telah bermetamorfosis menjadi halusinasi yang nyata. Aku kembali tertunduk
memeluk lutut, hendak kembali menenggelamkan diri dalam pusaran
ingatan-ingatan, harapan-harapan, dan imajinasi yang sudah tak jelas labelnya.
“Kesepian itu
menyakitkan ya?” Suara itu terdengar lagi.
“Siapa?!” Teriakku
kemudian. Berdiri melihat ke sekeliling
dengan liar.
“Jangan takut! Aku
hanya ingin menemanimu. Kau tak seharusnya kesepian seperti itu …”
“Kamu siapa?!”
“Bukannya saat
kesepian, siapa sudah tak penting lagi? Ayo ikutlah denganku. Kuajak kau
bertamasya malam ini.”
“Tapi kau harus
menunjukan siapa dirimu.”
“Iya sayang … iya. Aku
akan menunjukan diriku nanti asal kau mau ikut. Kau hanya perlu mengikuti arah
suaraku dan aku akan mengeluarkanmu dari kesepian itu.”
Angin kembali berhembus meniup gorden
jendela kamarku. Aku menatap pintu kamarku yang tertutup rapat. Suara itu tidak
berasal dari sana. Aku merasakan suara itu menyatu dengan angin yang berhembus
dari jendela kamarku.
“Kau benar. Jendela
bukan pintu ….”
Aku menoleh ke jendela.
Berjalan mendekat dan berdiri terpaku memegangi daunnya dengan penuh keraguan.
Lalu seperti ada tangan yang menuntunku dengan lembut memanjati jendela. Karena ukurannya yang lebih pendek
dari tinggiku, aku hanya bisa duduk dengan kaki yang terjuntai keluar sambil
berusaha menjaga keseimbangan. Aku melirik ke bawah,
10 kaki tingginya.
“Jangan lihat ke bawah!
Lihat ke langit! Pandangi cahaya dingin bintang-bintang itu. Lalu tutup matamu.
Rasakan cahaya bulan membelai wajahmu. Percayalah, bahkan langit sepakat kau
tak sepatutnya kesepian.”
Aku melakukannya. Suara
itu terdengar begitu dekat. Seperti amat kukenali. Seperti datang dari suatu
tempat yang kurindukan. Ingin rasanya aku berlari menyongsong suara itu. Mendekapnya
erat di dada. Hingga hilang memar-memar di sana.
Aku menengadah.
Mengunci semua yang kulihat detik ini dalam sekali pejaman mata. Kurasakan
angin di sekitarku bertiup semakin kencang.
Desaunya terdengar garang semakin dekat, hingga berdesing berhenti di
telingaku. Lalu kurasakan tubuhku melayang seringan helai bulu burung yang
terlepas.
“Sekarang buka matamu
…”
Aku mengerjap.
Mendapati diriku berjalan di udara. Di bawah sana, atap-atap rumah terlihat
seperti menyimpan molekul-molekul sepi yang mengkristal pada tiap sisir
gentingnya. Tapi tidak dengan atap rumahku.
Suara anjing menyalak
garang di bawahku. Ada tiga, oh bahkan lima. Mendongak ke arahku. Entah apa
arti salakan itu. Aku cepat-cepat melangkah pergi. Aku tak pernah merasakan
perasaan selepas ini. Bertelanjang kaki berjalan di udara. Aku merasa semakin
dekat dengan bintang-bintang dan bulan. Seakan-akan dapat menyentuh mereka
dengan jari jemariku. Sirius, Canopus, Rigil, Acturus, Vega ….
Lalu aku merasakan
suara angin itu kembali mendesau. Waktu mendadak berhenti di sekitarku. Dan aku
tiba-tiba saja berada pada sebuah koridor panjang, di mana dindingnya terbuat dari proyektor-proyektor
yang memutar film hitam putih di sepanjang jalan.
Suara kidung yang menyayat hati
terdengar. Dan muncullah seorang perempuan yang berjalan terseok-seok menyeret
kainnya yang bersimbah darah. Di gendongannya tertidur bayi perempuan merah
yang plasentanya masih menjuntai. Lalu langkahnya terhenti di sebuah gang dan
membuang bayi itu seperti sampah di sana.
Tangisan bayi itu seketika pecah membuat perempuan itu ketakutan bukan main, ia
lantas lari terbirit-birit meninggalkan jejak merah dan menerjunkan diri ke
dalam sumur tak berdasar.
Aku melanjutkan
langkah. Suara kidung yang menyayat hati itu berganti dengan lagu ulang tahun.
Film hitam putih itu terus bergerak menampilkan sosok gadis kecil yang meniup
lilin ulang tahun dan memotong kuenya yang bertoping kecupan-kecupan penuh
kasih sayang dari orang tuanya. Gadis kecil itu kemudian berlari mengangkat
gaunnya dengan riang. Rambut panjangnya meliuk-liuk bergesekan dengan punggung
putihnya yang terbuka. Senyumnya merekah sempurna, seperti kembang kertas,
sepatu, melati dan mawar yang dilewatinya.
Lalu tiba-tiba seorang
pria bertubuh hitam kekar berdiri menghentikan langkah gadis kecil itu.
Sekonyong-konyong pria itu menyeretnya seperti boneka. Tubuh gadis kecil yang
terlihat seperti pucuk daun itu diseret di atas krikil-krikil tajam. Gaunnya
robek tercabik-cabik, pun dengan tubuhnya. Krikil-krikil tajam itu berubah
merah.
Pria itu kemudian
melempar tubuh gadis kecil bersimbah darah itu ke dalam danau hingga tenggelam.
Seketika air danau juga berubah merah. Pria itu pun tertawa terbahak-bahak.
Lalu seperti sudah dapat ditebaknya, dari dalam danau muncul seorang gadis
dewasa telanjang yang wajah cantiknya menyimpan seribu luka. Pria itu
menghentikan tawanya. Air liurnya menetes dengan menjijikkan. Lantas segera ia menerkam tubuh
gadis itu seperti harimau kelaparan dan menggagahinya di sana tanpa mempedulikan jeritan
kesakitan gadis malang itu.
“Kau merasa sesak
melihat itu, sayang? Teruslah melangkah. Teruslah melangkah. Kau akan segera
melewati ini …”
Aku menangis
menyaksikan itu. Kutarik tanganku yang sejak tadi menggapai-gapai udara hendak
menyelamatkan gadis itu. Dan kembali melanjutkan langkah dengan kaki lemas. Di
hadapanku sebuah cahaya berpendar terang. Aku akan segera melewati koridor
menyesakkan ini.
Di ujung jalan, film itu masih berputar
menampilkan gadis tadi yang kini tengah meringkuk di bawah jendela sebuah
ruangan dengan tangan dan kaki terpasung. Aku jatuh tertunduk di dekat gambar
tubuhnya yang terguncang. Ia terisak. Ingin rasanya kubelai rambut panjangnya
yang meliuk lembut, memeluknya, dan menenangkannya di dadaku.
“Bangunlah! Kau akan
segera pulang meninggalkan kesepianmu yang menyakitkan itu. Ayo bangunlah,
sayang …”
Aku bangkit menyeka
mataku yang basah, kemudian melangkah meninggalkan gadis itu menuju mulut
koridor. Di sana, aku
menemukan sebuah perahu yang seperti
tengah
menunggu. Aku kemudian menaikinya dan berlayar terapung di atas alirang
bintang-bintang yang berserakan seperti gula. Yang ketika kusentuh, terasa
begitu sejuk mendamaikan.
Di perahuku ada seekor
anak kucing putih yang naik ke pangkuanku. Ia menjilati tanganku dengan
lidahnya yang merah lembut, membuatku merasa geli dan tertawa. Kubelai bulunya
yang lembut, dan membiarkannya tertidur dengan cantik.
Garis fajar telah
terlihat saat perahuku berhenti tepat di atas atap rumahku. Aku turun dengan
perlahan dan perahu itupun pergi bersama anak kucing tadi. Aku melambaikan
tangan pada keduanya. Meski tak bicara, mereka lebih dari sekedar teman yang
menyenangkan.
“Bagaimana? Apa kau
terhibur dengan tamasya ini? Oh ya, aku lupa, aku berjanji akan menunjukkan diri. Lihatlah ke bawah. Aku di sana.”
Aku menunduk melihat ke bawah. Di sana,
aku melihat seorang gadis muda dengan piyama berwarna jingga tergeletak dengan kepala
yang berputar 160o. Darah merah pekat menggenang di sekitarnya. Ia
tampak begitu kesepian.
Kediri, 30
Juli 2015
Akarpohon Mataram
Komentar
Posting Komentar