Langsung ke konten utama

Tamasya Kesepian (Suara NTB 31-Okt-2015)



Tamasya Kesepian
Cerpen Novita Hidayani

     “Kau merasa kesepian?”
     Aku tergagap dari lamunanku di bawah jendela. Menoleh kesana kemari mencari sumber suara. Kosong. Kamarku kosong. Hanya ada aku yang duduk memeluk lutut dan memikirkan banyak hal di sini. Siapa tadi yang bertanya? Hanya aku sendirian di rumah ini.
Angin malam berhembus meniup gorden abu-abu yang tersingkap menyuguhkan hamparan langit malam bulan Juli yang terang di luar jendela. Bintang-bintang satu dua bercengkrama dengan awan cumulus, dan blue moon berpijar sempurna.
     “Kau sendirian?” Suara itu kembali terdengar. Seperti menggema dalam ruangan kosong yang maha luas.
     Kesadaranku lebih dari sepenuhnya. Mataku sigap mengitari ruang kamarku yang tak seberapa luas, menyapu setiap sudut, kolong meja, atas lemari, hingga ke langit-langit. Siapa tahu sesosok wanita dengan rambut hitam panjang bergaun putih dengan lekuk mata hitam tengah memperhatikanku dari suatu tempat dan hendak berkomunikasi denganku. Tapi hanya keheningan yang tertangkap. Ah! Mungkin khayalanku telah bermetamorfosis menjadi halusinasi yang nyata. Aku kembali tertunduk memeluk lutut, hendak kembali menenggelamkan diri dalam pusaran ingatan-ingatan, harapan-harapan, dan imajinasi yang sudah tak jelas labelnya.
     “Kesepian itu menyakitkan ya?” Suara itu terdengar lagi.
     “Siapa?!” Teriakku kemudian. Berdiri melihat ke sekeliling dengan liar.
     “Jangan takut! Aku hanya ingin menemanimu. Kau tak seharusnya kesepian seperti itu …”
     “Kamu siapa?!”
     “Bukannya saat kesepian, siapa sudah tak penting lagi? Ayo ikutlah denganku. Kuajak kau bertamasya malam ini.”
     “Tapi kau harus menunjukan siapa dirimu.”
     “Iya sayang … iya. Aku akan menunjukan diriku nanti asal kau mau ikut. Kau hanya perlu mengikuti arah suaraku dan aku akan mengeluarkanmu dari kesepian itu.”
Angin kembali berhembus meniup gorden jendela kamarku. Aku menatap pintu kamarku yang tertutup rapat. Suara itu tidak berasal dari sana. Aku merasakan suara itu menyatu dengan angin yang berhembus dari jendela kamarku.
     “Kau benar. Jendela bukan pintu ….”
     Aku menoleh ke jendela. Berjalan mendekat dan berdiri terpaku memegangi daunnya dengan penuh keraguan. Lalu seperti ada tangan yang menuntunku dengan lembut memanjati jendela. Karena ukurannya yang lebih pendek dari tinggiku, aku hanya bisa duduk dengan kaki yang terjuntai keluar sambil berusaha menjaga keseimbangan. Aku melirik ke bawah, 10 kaki tingginya.
     “Jangan lihat ke bawah! Lihat ke langit! Pandangi cahaya dingin bintang-bintang itu. Lalu tutup matamu. Rasakan cahaya bulan membelai wajahmu. Percayalah, bahkan langit sepakat kau tak sepatutnya kesepian.”
     Aku melakukannya. Suara itu terdengar begitu dekat. Seperti amat kukenali. Seperti datang dari suatu tempat yang kurindukan. Ingin rasanya aku berlari menyongsong suara itu. Mendekapnya erat di dada. Hingga hilang memar-memar di sana.
     Aku menengadah. Mengunci semua yang kulihat detik ini dalam sekali pejaman mata. Kurasakan angin di sekitarku bertiup semakin kencang. Desaunya terdengar garang semakin dekat, hingga berdesing berhenti di telingaku. Lalu kurasakan tubuhku melayang seringan helai bulu burung yang terlepas.
     “Sekarang buka matamu …”
     Aku mengerjap. Mendapati diriku berjalan di udara. Di bawah sana, atap-atap rumah terlihat seperti menyimpan molekul-molekul sepi yang mengkristal pada tiap sisir gentingnya. Tapi tidak dengan atap rumahku.
     Suara anjing menyalak garang di bawahku. Ada tiga, oh bahkan lima. Mendongak ke arahku. Entah apa arti salakan itu. Aku cepat-cepat melangkah pergi. Aku tak pernah merasakan perasaan selepas ini. Bertelanjang kaki berjalan di udara. Aku merasa semakin dekat dengan bintang-bintang dan bulan. Seakan-akan dapat menyentuh mereka dengan jari jemariku. Sirius, Canopus, Rigil, Acturus, Vega ….
     Lalu aku merasakan suara angin itu kembali mendesau. Waktu mendadak berhenti di sekitarku. Dan aku tiba-tiba saja berada pada sebuah koridor panjang, di mana dindingnya terbuat dari proyektor-proyektor yang memutar film hitam putih di sepanjang jalan.
Suara kidung yang menyayat hati terdengar. Dan muncullah seorang perempuan yang berjalan terseok-seok menyeret kainnya yang bersimbah darah. Di gendongannya tertidur bayi perempuan merah yang plasentanya masih menjuntai. Lalu langkahnya terhenti di sebuah gang dan membuang bayi itu seperti sampah di sana. Tangisan bayi itu seketika pecah membuat perempuan itu ketakutan bukan main, ia lantas lari terbirit-birit meninggalkan jejak merah dan menerjunkan diri ke dalam sumur tak berdasar.
     Aku melanjutkan langkah. Suara kidung yang menyayat hati itu berganti dengan lagu ulang tahun. Film hitam putih itu terus bergerak menampilkan sosok gadis kecil yang meniup lilin ulang tahun dan memotong kuenya yang bertoping kecupan-kecupan penuh kasih sayang dari orang tuanya. Gadis kecil itu kemudian berlari mengangkat gaunnya dengan riang. Rambut panjangnya meliuk-liuk bergesekan dengan punggung putihnya yang terbuka. Senyumnya merekah sempurna, seperti kembang kertas, sepatu, melati dan mawar yang dilewatinya.
     Lalu tiba-tiba seorang pria bertubuh hitam kekar berdiri menghentikan langkah gadis kecil itu. Sekonyong-konyong pria itu menyeretnya seperti boneka. Tubuh gadis kecil yang terlihat seperti pucuk daun itu diseret di atas krikil-krikil tajam. Gaunnya robek tercabik-cabik, pun dengan tubuhnya. Krikil-krikil tajam itu berubah merah.
     Pria itu kemudian melempar tubuh gadis kecil bersimbah darah itu ke dalam danau hingga tenggelam. Seketika air danau juga berubah merah. Pria itu pun tertawa terbahak-bahak. Lalu seperti sudah dapat ditebaknya, dari dalam danau muncul seorang gadis dewasa telanjang yang wajah cantiknya menyimpan seribu luka. Pria itu menghentikan tawanya. Air liurnya menetes dengan menjijikkan. Lantas segera ia menerkam tubuh gadis itu seperti harimau kelaparan dan menggagahinya di sana tanpa mempedulikan jeritan kesakitan gadis malang itu.
     “Kau merasa sesak melihat itu, sayang? Teruslah melangkah. Teruslah melangkah. Kau akan segera melewati ini …”
     Aku menangis menyaksikan itu. Kutarik tanganku yang sejak tadi menggapai-gapai udara hendak menyelamatkan gadis itu. Dan kembali melanjutkan langkah dengan kaki lemas. Di hadapanku sebuah cahaya berpendar terang. Aku akan segera melewati koridor menyesakkan ini.
Di ujung jalan, film itu masih berputar menampilkan gadis tadi yang kini tengah meringkuk di bawah jendela sebuah ruangan dengan tangan dan kaki terpasung. Aku jatuh tertunduk di dekat gambar tubuhnya yang terguncang. Ia terisak. Ingin rasanya kubelai rambut panjangnya yang meliuk lembut, memeluknya, dan menenangkannya di dadaku.
     “Bangunlah! Kau akan segera pulang meninggalkan kesepianmu yang menyakitkan itu. Ayo bangunlah, sayang …”
     Aku bangkit menyeka mataku yang basah, kemudian melangkah meninggalkan gadis itu menuju mulut koridor. Di sana, aku menemukan sebuah perahu yang seperti tengah menunggu. Aku kemudian menaikinya dan berlayar terapung di atas alirang bintang-bintang yang berserakan seperti gula. Yang ketika kusentuh, terasa begitu sejuk mendamaikan.
     Di perahuku ada seekor anak kucing putih yang naik ke pangkuanku. Ia menjilati tanganku dengan lidahnya yang merah lembut, membuatku merasa geli dan tertawa. Kubelai bulunya yang lembut, dan membiarkannya tertidur dengan cantik.
     Garis fajar telah terlihat saat perahuku berhenti tepat di atas atap rumahku. Aku turun dengan perlahan dan perahu itupun pergi bersama anak kucing tadi. Aku melambaikan tangan pada keduanya. Meski tak bicara, mereka lebih dari sekedar teman yang menyenangkan.
    “Bagaimana? Apa kau terhibur dengan tamasya ini? Oh ya, aku lupa, aku berjanji akan menunjukkan diri. Lihatlah ke bawah. Aku di sana.”
     Aku menunduk melihat ke bawah. Di sana, aku melihat seorang gadis muda dengan piyama berwarna jingga tergeletak dengan kepala yang berputar 160o. Darah merah pekat menggenang di sekitarnya. Ia tampak begitu kesepian.
Kediri, 30 Juli 2015
Akarpohon Mataram

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layang-layang yang Terlambat Pulang (Lombok post Minggu, 12 Juni 2016)

Cerpen Novita Hidayani Beberapa hari ini aku melihat sebuah layang-layang yang selalu terlambat pulang. Menjelang magrib, semua layang-layang biasanya akan diturunkan dan pulang bersama pemiliknya ke rumah masing-masing. Tetapi layang-layang itu, meski langit telah menghitam, ia masih saja mengudara. Ia seperti enggan untuk pulang. *** Meski tak pernah dapat memainkannya, sejak kecil aku selalu suka melihat layang-layang terbang di langit. Entah langit sedang sebiru samudera, atau seoranye telur setengah matang. Senang sekali rasanya melihat benda tipis berwarna-warni, kadang berekor panjang itu   mengambang di udara. Kadang diam seperti petapa, kadang meliuk-liuk seperti ular, dan kadang beradu seperti domba Sore ini aku duduk di balkon kamar kontrakkanku. Sudah lama sekali rasanya aku tak melakukan ini, ngemil sambil menyaksikan layang-layang bertebangan di langit. Ditemani burung-burung gereja pada kabel-kabel listrik yang malang melintang di hadapan balkon dan

Whatever just be your self!

Sore itu seperti biasa, aku menghadiri acara kajian rutin yang diadakan oleh sebuah organisasi nirlaba di kota tempat ku menuntut ilmu. Dan seperti biasa aku selalu mendapat bagian tempat duduk pada barisan terdepan, padahal itu bukan karna aku datang paling awal lho, hanya sebuah kebiasaan aneh audience yang kerap ku temui ketika mengikuti kajian serupa; "enggan duduk di barisan terdepan". Aku tak tau alasan tepatnya. Padahal menurutku duduk dibarisan terdepan itu adalah pilihan yang sangat menguntungkan dengan berbagai alasan yang tidak akan ku jelaskan disini. Kenapa? Karna aku akan membahas tentang sang pembicara yang menurutku lebih menarik untuk dibahas. Loh kok?! Emang ada apa sih dengan sang pembicara? Pertanyaan yang bagus! Hehe:p Sejak awal beliau membuka forum kajian sore itu, aku merasa mengenal gesture dan style beliau. Sangat tidak asing, karna setiap minggu malam aku melihat gesture dan style yang sama di televisi tapi dalam sosok yang berb

Dear Ayah

Dear Ayah… Ayah, andai aku seorang lelaki aku akan menjadi bujangmu yang tangguh. Tapi sayang, aku adalah seorang perempuan. Andai aku seorang lelaki yah, aku akan merantau jauh dan enggan pulang sebelum bisa membanggakanmu. Tapi aku terlahir sebagai seorang perempuan yah, putri satu-satunya yang kau miliki. Tidak. Kau memang tidak pernah mempermasalahkan apakah aku seorang lelaki atau perempuan. Tapi ayah izinkan aku membayangkan apa yang bisa ku perbuat ketika aku menjadi bujangmu… Dear Ayah… Kau lakukan segalanya untukku.  Kau pernah bilang “Orang tua tidak akan berkata tidak kepada anaknya, selama mereka sanggup melakukannya.” Dan kau melakukannya. Tak jarang aku mengambil keputusan yang tak sesuai dengan harapanmu. Tapi kau selalu menjadi orang pertama yang mendukungku sekaligus menjadi orang pertama yang akan membuka tangan ketika aku gagal. Ayah… Meski aku seorang perempuan. Aku akan selalu berusaha membanggakanmu. Aku akan menukar semua keringatmu dengan senyum b