(persma underwater, doc. crew media unram)
Mau tidak mau
kita harus mengakui, kita sempat koma selama periode kepengurusan tahun
2015-2016. Iya, koma. Kondisi dimana kita tak bisa mengendalikan tubuh kita
secara maximal. Organ-organ dalam kita masih berfungsi, tetapi kita tidak mampu
melakukan hal-hal yang biasanya (seharusnya) kita lakukan.
Atau mungkin
lebih tepatnya, kita kesurupan! Kondisi dimana, raga kita ditempati oleh “jin”,
sementara kita tidak bisa mengendalikan tubuh kita selama bebrapa waktu sampai
si jin ngerasa kewalahan sendiri dan mengembalikan tubuh kita. Oh well,
pengandaian saya mungkin kurang tepat. Tetapi yang jelas, pengambil alihan
sekretariat dan pergantian kepengurusan oleh pihak rektorat secara sepihak
tempo hari, mau tidak mau harus kita akui membuat kita (seolah-olah) mati di
kalangan banyak pihak.
Bagaimana tidak?
Setiap turun liputan untuk web, ada saja beberapa kawan yang iseng menanyakan
“Loh bukannya Media Unram udah mati ya?” Kan menyebalkan! Dan kami mau tidak
mau harus urut dada, mau menjelaskan kalau kami masih hidup dan sedang
underground untuk bertahan juga sia-sia. Karena kami sadar yang bertanya
seperti itu kebanyakan tak benar-benar berniat untuk tahu atau peduli.
Tidak ada
sekretariat cukup mempersulit kami untuk beraktifitas. Meskipun kami sudah
mengakali dengan kumpul-kumpul di tempat umum atau di sekretariat orang (Big
Thanks to AJI yang saat itu beberapakali bersedia meminjamkan tempatnya).
Tetapi tetap saja rasanya agak berat karena kami kesulitan untuk sekedar
berdiskusi. Bukannya manja atau bagaimana, karena kami notabenenya berasal dari
fakultas dan semester yang berbeda, agak susah mengumpulkan anggota pada satu
waktu. Setidaknya jika ada sekret, berapapun yang datang di waktu kapanpun bisa
berdiskusi lebih dulu atau melakukan aktifitas lebih dulu.
Tidak hanya itu,
simpang siur kelegalitasan organisasi membuat tidak sedikit anggota yang akhirnya
pelan-pelan tidak terlalu aktif dan memilih untuk mempelajari hal lain di
tempat lain. Sama sekali tidak ada yang salah dengan hal itu. Sangat wajar.
Tentu saja mereka membutuhkan sesuatu untuk dibubuhkan di CV mereka kelak
sehingga mereka mencari hal-hal lain yang lebih terkesan berprestasi dan
“cemerlang” ketimbang ikut memperjuangkan sebuah organisasi berumur 27 tahun
yang sedang sekarat. Selain itu, tak banyak yang dapat kami bagi selaku
pengurus periode 2015-2016 untuk mereka. Jadi sudah sewajarnya kami tidak
menahan mereka mengambil keputusan tersebut.
Yang mengharukan
adalah, ternyata masih ada kawan-kawan yang mendedikasikan waktu dan pikirannya
untuk tetap mempertahankan Media Unram. Terus belajar dengan berbagai
keterbatasan sumber, pemateri, maupun materi. Meskipun, pengukuhan mereka
(angkatan 24) sampai sekarang belum dilakukan dan kartu pers sebagai hak mereka setelah magang
selama lebih dari enam bulan belum diberikan, mereka masih berdiri bertahan
bersama kami.
Mereka juga ikut
berlelah-lelah berdiskusi panjang lebar sampai larut malam dengan golongan tua
untuk menemukan solusi bagaimana cara kami bisa tetap bertahan, di saat
organisasi kami direcoki oleh pihak penguasa tempat kami bernaung (baca:
rektorat). Saat itu pelantikan pengurus baru telah dilakukan, yang artinya
secara organisasi Media Unram masih hidup tetapi pengurus aslinya dilengserkan.
Bukankah hal itu lebih kejam dari pembunuhan?
Solusi yang
ditawarkan oleh pihak rektorat saat itu adalah kami pengurus dan anggota Media
Unram yang asli harus mau bergabung dengan kepengurusan yang baru, dimana
mereka sama sekali belum pernah mendapatkan pelatihan jurnalistik sebelumnya.
Dan kami hanya boleh menjadi anggota divisi di dalam kepengurusan. Tapi bukan
itu yang menjadi penyebab kami bersikeras tidak ingin bergabung dengan
kepengurusan baru. Berita-berita yang kami tayangkan harus sesuai dengan
permintaan pihak rektorat dan harus sesuai dengan visi Universitas Mataram yang
ingin maju atau apalah, dengan kata lain kami hanya boleh membuat berita yang
bagus-bagus saja demi nama baik universitas. TENTU SAJA KAMI MENOLAK DENGAN
TEGAS HAL TERSEBUT, karena tidak sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalistik yang
telah ditanamkan kepada kami.
Dan saat
perseteruan terjadi antara pengurus Media Unram yang asli dengan pengurus
besutan pihak rektorat, perasaan-perasaan sentimental tak bisa dihindari.
Pengurus asli benar-benar merasa tersakiti dengan kehadiran mereka. Kami merasa
mereka adalah ancaman yang sangat besar atas sejarah Media Unram selama ini.
Coba bayangkan, bagaimana mereka yang belum pernah menjalani pelatihan jurnalistik
sama sekali bisa menjalankan sebuah organisasi pers? Takutnya mereka mengatas
namakan Media Unram tapi memberikan kabar tak ubahnya majalah civitas atau UKM
Info. Horror kan?
Begitulah selama
hampir setahun kami seakan-akan sebuah kapal yang terombang-ambing di lautan.
Sampai akhirnya, kami berniat memutuskan bergabung dengan kepengurusan baru
dengan pertimbangan, lebih baik gagal mempertahankan organisasi daripada gagal
mempertahankan generasi-generasi idealis. Tentu saja pilihan ini sangat berat,
kami sampai terbagi menjadi dua kubu; yang memilih mati dengan terhormat
daripada bergabung dan luruh dan yang memilih bergabung dengan misi pelan-pelan
menyebarkan apa itu jurnalistik kepada kepengurusan baru.
Eh.. tapi memang
dasarnya, perjuangan itu pasti membuahkan hasil. Di saat berniat itu,
kepengurusan baru malah datang kepada kami dan mengaku kewalahan menjalankan
organisasi dan meminta bantuan kepada kami. Dan cas cis cus ces cos… kami
sama-sama menyingkar ego dan memutuskan bekerjasama untuk membangun Media Unram
dan sama-sama mengikrarkan akan belajar apa itu jurnalistik yang sebenarnya.
Yah.. walaupun dari kepengurusan baru banyak yang akhirnya hengkang karena
masih menganggap kami hanyalah sekelompok orang yang hobinya membuat kabar
buruk. Entahlah, padahal kami sudah berulang kali bilang kalau kami selalu
(berusaha) cover both side dalam menyuguhkan berita, atau mereka belum mengerti
maksud kami, ah entahlah.. entahlah..
(berkegiatan pertama kali pasca konflik; pelatihan internal)
Sekarang
semuanya sudah selesai. Media Unram masih hidup. Pers mahasiswa tidak akan
pernah mati selama masih ada mahasiswanya yang mau tetap membaca, menulis,
berdiskusi, dan bersuara. Pihak rektorat juga harusnya mengerti, hanya orangtua
yang diktaktor dan egois yang tidak mau dikritik anak-anaknya. Kami mencintai
Universitas kami dengan cara kami sendiri. Hidup Mahasiswa! Hidup Mahasiswa!
Hidup Mahasiswa! Salam Pers Mahasiswa!
Peluk Ketjup
MDA.XXIII.014.021
Peluk Ketjup
MDA.XXIII.014.021
terus maju untuk UKM Media!
BalasHapus