Pergi
Setelah
tujuh tahun lamanya, hari ini aku kembali dapat melihat kedua mata yang begitu
teduh mendamaikan dan selalu berbinar itu lagi. Kedua mata itu kembali
memporak-porandakan perasaanku, membuat seluruh persendianku terasa lemas, dan
kembali melumpuhkan otak numerikku persis seperti tujuh tahun yang lalu. Tak
ada sedikitpun yang berubah dari kedua mata itu, meski sekarang kau memilih
mengecat rambut ikal panjangmu berwarna senada dengan kedua bola matamu yang
hitam legam. Membuat gen ke-indonesiaanmu lebih terlihat. Selain dari itu tak
ada yang berubah dari dirimu. Suaramu yang selalu terdengar ceria memanggil
namaku, tinjuan yang tak pernah pelan ke pundakku hasil belajar bela diri
kilatmu dulu, parfume lavender favoritmu, stelan jeans dan kaos putih
kebanggaanmu, dan terutama kedua matamu dan cara memandangmu itu tak ada yang
berubah. Masih sama seperti dulu. Membuat perasaan yang selama hampir tujuh
tahun terakhir ini dengan susah payah
berusaha ku enyahkan kembali lagi. Kau telah pulang.
“DIRAAAAA!!!”
Dan pelukanmu pun masih sama seperti dulu.
“Kangeeennn!!!
Gilaa kamu sekarang udah gede, udah lebih tinggi dari aku. Yah.. aku gak bisa
jitak kepala kamu lagi deh. Ma, ini Dira kok bisa jadi tinggi banget gini sih?
Dulu perasaan waktu dia SMA pendek deh.” Celotehmu ringan, seringan angin yang
berhembus menerbangkan daun-daun cemara di pekarangan rumah. Aku tak tau harus
berbuat apa dan merasa bagaimana sekarang. kau membuat nafasku menjadi lebih
susah dari biasanya.
Kenapa?
Kenapa kau harus kembali? Dan tatapan matamu itu selalu dapat menjawab bahwa
akulah yang sebenarnnya selalu mengharapkan kehadiranmu disini. Di tempat
dimana kita menghabiskan belasan tahun bersama. Terbelenggu oleh status yang
mengikat kita pada tiang terpisah.
“Dira
kan kecepetan waktu masuk SD dulu, baru lima tahun udah masuk SD. Jadi waktu
SMA itu kan umurnya baru 14 tahun Dil, masih masa pertumbuhan...” Sahut Mama
dari dapur yang keluar membawa senampan gorengan berminyak kesukaanmu dan
meletakkannya di meja makan. Kau mengapit lenganku, dan menarikku duduk di meja
makan.
“Oh
iya ya, Dila lupa Ma...” Kau tersenyum, menatap penuh minat ke arah gorengan
yang masih mengepulkan asap itu, menghirup dalam-dalam aromanya seakan-akan
sudah berabad-abad tak melihat makanan seperti itu. Aku bahkan lupa, di
Australia sana tak ada yang menyiapkanmu gorengan seperti ini.
“Kamu
mau yang mana?” Tiba-tiba kau menoleh. Kedua matamu tepat menangkap kedua
mataku yang sedari tadi menatapmu dari samping. Mata kita bertemu. Sedetik, dua
detik, tiga detik. Kau dengan cepat mengalihkan pandanganmu. Mencari kesibukan
sendiri di atas nampan itu. Tanpa mempedulikanku sedikitpun. Seakan-akan tak
pernah terjadi apapun sebelumnya. Atau mungkin bagimu kejadian tujuh tahun yang
lalu hanya angin lalu?
***
Tujuh
tahun lalu umurku mungkin masih 16 tahun, ketika aku menyadari perasaanku
sendiri. Ketika aku menyadari bahwa aku tak bisa menganggapmu sebagai kakak
perempuanku lagi. Mungkin bagimu waktu itu aku hanyalah bocah ingusan
berseragam putih abu yang menyatakan cinta konyol padamu yang berumur tiga
tahun lebih tua dariku. Mungkin bagimu waktu itu aku hanya takut berpisah
denganmu, tak terbiasa menjalani seharipun tanpamu. Mungkin bagimu, aku terlalu
menyayangimu sebagai kakak perempuanku. Yah, mungkin itu semua benar. Waktu itu
aku begitu takut terpisah darimu yang tiba-tiba memutuskan untuk melanjutkan
sekolahmu ke negara asal ayahmu (yang telah menjadi ayahku juga) itu, aku tak
tau bagaimana sehari saja tak dapat melihatmu, tak dapat mendengar suaramu, tak
dapat menatap kedua matamu yang selalu dapat mendamaikanku itu. Itu semua
memang benar. Tapi kau tak tau, disisi lain, aku begitu menginginkanmu, aku
begitu ingin memilikimu tidak hanya sebagai seorang kakak tetapi lebih dari
itu. Bukankah hasrat ingin memiliki itulah yang membedakan antara cinta dan
hanya sekedar menyayangi? Umurku mungkin masih 16 waktu itu, tapi aku benar-benar
memahami perasaan sakit ketika mendengarkanmu menceritakan laki-laki yang kau
sukai. Aku benar-benar memahami, kenapa aku selalu membutuhkanmu berada
disampingku.
“Kau
becanda Dira, aku kakakmu!” Kau mundur beberapa langkah waktu itu. Mungkin
terkejut mendengar pengakuanku.
“Secara
sipil iya, tapi secara biologis tidak. Kau bukan kakakku!” Kau mundur beberapa
langkah lagi. Mendadak aku begitu takut kehilanganmu. Aku tertunduk meremas
rambutku. Menyesal memberi tahumu.
“Aku
mungkin sudah gila. Kau benar aku mungkin memang gila. Tetaplah disini, ku
mohon jangan pergi...” Aku menangis seperti anak kecil. Sungguh aku sendiri tak
menginginkan terjebak dalam perasaan ini. Rasanya benar-benar memuakkan dan menyesakkan.
Bahkan membuat perasaanku luluh lantah. Aku tak pernah menginginkan gadis
manapun selain dirimu.
Kau
memelukku waktu itu. Berulang kali mengucapkan kata ma’af. Baik aku ataupun
dirimu tak pernah menginginkan terjebak dalam situasi seperti ini. Kita
sama-sama tau itu. Dan hari itu, kita menghabiskan malam terakhirmu di kamarku.
Duduk membantu di lantai memandang jam dinding yang tiba-tiba tak berdetak
lagi. Menambah kebisuan. Kau sibuk dengan fikiranmu sendiri. Begitu juga dengan
aku. Mungkin kepergianmu waktu itu adalah bagian dari jalan keluar yang di
tunjukanNya atas keterjebakkanku pada perasaan yang dibuatNya sendiri juga.
Kesempatan bagiku untuk mengenyahkan sekaligus membuktikan sejauh mana
kebenaraan perasaanku waktu itu.
Dan
sekarang kau telah kembali...
Tak
ada yang berubah sedikitpun dari perasaanku. Masih sama seperti dulu. Aku
menarik nafas panjang. Aku harus mengakhirinya. Perasaan yang menyakitkan ini.
Mencintai seseorang yang tak akan pernah bisa ku miliki.
Cinta
itu adalah sebuah keputusan. Keputusan apa kau akan terus mencintainya atau
melupakannya. Karena aku termasuk orang yang tidak menganut teori “cinta tak
harus memiliki”, maka detik ini aku akan memilih melupakan perasaan itu
selamanya. Aku ingin membebaskan diri.
”Ma,
S2 aku positif ambil di Claremont McKenna College. Applikasi beasiswa sudah
diterima. Paling lambat bulan depan aku berangkat.”
“Ya
Tuhan... Anakku yang satu baru pulang, yang satu sudah mau pergi lagi.”
“Tenang...
Kak Dila kan energiknya minta ampun. Jadi Mama gak usah khawatir. Kak Dila bisa
menggantikan posisi aku sekaligus. Iya gak kak?” Aku merangkulmu dan
menepuk-nepuk bahumu. Giliran kau yang terdiam. Tak menatapku sama sekali.
Terus-terusan berada didekatmu akan membuatku semakin gila. Membuatku semakin
terjebak dengan perasaaku sendiri. Maka ku putuskan untuk pergi sejauh mungkin
darimu. Entah nanti aku berhasil atau tidak untuk menghapuskan perasaan itu...
***
“Mulai sekarang aku jadi saudara kamu.
Aku ini pernah belajar bela diri sama dady, jadi kalau ada yang gangguin kamu
nanti, aku bakalan lindungi kamu.”
...
“Anak laki-laki gak bisa manjat?!
Ya Tuhan... what a shamed! Apapun yang terjadi, kamu harus bisa manjat pohon
cemara itu. Nanti di atas kita bisa buat rumah pohon...”
...
“Ma’af Dira... aku seharusnya gak
suruh kamu manjat pohon. Aku bakalan minjemin kaki aku sampe kamu sembuh. Ma’af...
Kamu jangan sakit terus. Aku gak tau maen sama siapa lagi..”
....
“Diraaa!!!! Yeee aku bisa naek
sepeda!!”
...
“Dira aku sakit...”
...
“Aku gak bakalan kemana-mana kok,
udah gak usah bawel! Tadi kamu udah minum obat, nanti juga sembuh.”
...
“Dira tebak, hari ini aku diajak
ngobrol sama kak Dimas. Senangnya...”
...
“Dira dan Dila. Kok bisa ya nama
kita bisa serasi gitu? Kaya’nya kita emang udah ditakdirkan bersaudara...”
***
“Pergilah
sejauh yang kau bisa. Lakukan seperti apa yang ku lakukan dulu. Hanya itu
satu-satunya cara. Pergilah...”
Angin
senja kembali meniup daun-daun cemara yang memenuhi pekarangan rumah. Dingin. Hatiku
begitu dingin mendengarmu berkata pelan, pelan sekali disampingku. Tanpa sedikitpun
melihat ke arahku. Tenggorokanku tercekat. Kita benar-benar terikat pada tiang
terpisah. Tak akan pernah bisa menyatu. Disitulah cinta meminta untuk pergi. Tak
lagi meminta untuk bersama lagi. Dan aku kini benar-benar telah bisa memahi
bagaimana harus mengakhiri.
Aku
tersenyum dan menjitak kepalamu pelan.
“Oleh-olehku
mana??”
“Ma...
Dira nih kurang asem, masa’ kakaknya dijitak.”
Bahkan
bayanganmu pun tak akan pernah dapat ku miliki.
Novita
Hidaya, 28th Sept, 2013
Thanks
for reading. I need u’r comments and suggestions in other i can write better.
*menyimak :)
BalasHapus