Langsung ke konten utama

Saat Bencana, Terkutuklah Penyebar Ujaran Kebencian dan HOAX


Bencana itu sendiri sudah mengerikan, jadi lebih mengerikan berkali-kali lipat jika ditambah dengan munculnya banyak hoax dan ujaran kebencian yang di politisasi di sosial media.

Lucunya, ini seringkali terjadi di Indonesia. Seperti yang terjadi baru-baru ini, 3 kali Gempa kuat dan ratusan kali gempa susulan yang mengguncang Lombok Nusa Tenggara Barat (29/07). Selain mengundang simpati dan empati banyak orang ternyata juga langsung diikuti hoax dan ujaran kebencian terhadap kelompok politik tertentu.

Hoax pertama yaitu beredarnya kabar bahwa akan terjadi gempa susulan lengkap dengan waktu tepatnya akan terjadi. Kabar bohong yang beredar kira-kira dua jam setelah gempa besar ini langsung dikonfirmasi oleh BMKG bahwa tidak ada yang mampu memprediksi terjadinya gempa susulan. Sayangnya meski sudah dikonfirmasi, postingan hoax itu masih saja trus dibagikan hingga malam hari.

Bahkan ada juga yang menscreenshoot berita terpotong lalu menyebarkan seolah-olah berita tersebut adalah peringatan dari BMKG bahwa akan terjadi gempa susulan berkekuatan lebih dahsyat yang akan terjadi lagi pada malam hari. Padahal berita aslinya (jika tidak dipotong) mengabarkan bahwa pengumuman tersebut adalah kabar bohong.

Iseng saya menegur secara langsung, sebuah akun yang ikut membagikan hoax ini di linimasa facebooknya. Akun tersebut lalu dengan santainya menjawab, "gakpapa mbak.. untuk meningkatkan kewaspadaan". Saya berusaha menjelaskan setenang mungkin kalau niat baik tersebut tidak berbanding lurus dengan dampak yang ditimbulkan oleh hoax tersebut. Masyarakat yang pada dasarnya masih trauma, akan semakin resah dan ketakukan dibayangi kabar tersebut.

Belum selesai dengan kekesalan oleh hoax tersebut, muncul kemudian postingan berbau ujaran kebencian yang ramai disebar di linimasa facebook. Ujaran kebencian tersebut menyebut-nyebut bahwa gempa bumi yang terjadi akibat gubernur yang mendukung salah seorang capres sehingga dihukum oleh Allah. Ada juga yang sempat-sempatnya menyindir dimana keberadaan gubernur dan apa yang tengah dilakukan saat bencana tengah berlangsung.

Membaca postingan-postingan semacam itu membuat saya ingin tertawa sekaligus menangis. Sedangkal itukah pikiran masyarakat kita? Semalas itukah masyarakat kita mencari tahu kebenaran yang tengah terjadi? Sehingga cukup membaca judul saya atau paragrap pertama sebuah tulisan langsung menyimpulkan sesuatu. Ini benar-benar menyedihkan.

Munculnya berita hoax dan ujaran kebencian yang dipolitisasi tidak hanya terjadi saat gempa Lombok kemarin. Beberapa waktu lalu, saat tenggelamnya sebuah kapal di danau Toba ghal serupa pun terjadi sehingga semakin memperkeruh suasa.

Seharusnya, Indonesia banyak belajar dari kasus terperangkapnya dua belas bocah pemain sepak bola beserta pelatihnya di Thailand. Masyarakat, warganet, media, seniman, dan seluruh pihak yang ingin membantu fokus bekerjasama untuk menyelamatkan para korban. Tidak ada yang sibuk saling menyalahkan, tidak ada yang membuat drama-drama berlebihan, apalagi sampai menyebar kabar hoax yang meresahkan dan ujaran kebencian yang dipolitisasi.

Dari pada menyebar ujaran kebencian, mempolitisasi keadaan, dan menyebarkan hoax. Kenapa tidak masyarakat bahu membahu membantu para korban dengan dana atau tenaga secara langsung ke lokasi kejadian. Atau warganet menyebarkan postingan-postingan berbau motivasi dan semangat agar para korban bisa berangsur-angsur membaik dari trauma yang diakibatkan oleh bencana. (novita- tim media)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Novelet: "Maroona" full

MAROONA (full) Hatiku tengah berlayar                                                                                         Di tengah lautan yang luas dan biru Kilauan airnya memantul menyinariku           Hatiku tengah berlayar Ditengah lautan yang luas Seisinya bernyanyi untukku Entah sampai kapan ia akan terus berlayar Entah seberapa luas laut yang akan diarunginya lagi Sampai kini belum ada dermaga yang membuatnya berhenti Berhenti untuk menyandarkan hari-hari Berhenti untu...

2 Hari Bareng Eva Celia

It was such an amazing experience! Satu kalimat yang mewakili dua hari jadi LOnya Eva Celia untuk Konser Senggigi Sunset Jazz Festival yang diadain di Lombok, tanggal 9 Desember kemaren. Awalnya surprise banget waktu suatu hari, tiba2 dapet whatsapp dari Mbak Githa, "Mau gak jadi LOnya Eva Celia?" Oh my God!!! Can you imagine my feeling? Saya yang biasanya kalo gabut di kantor suka streaming lagunya Eva Celia dan Ayahnya Indra Lesmana, tiba-tiba diminta jadi LOnya. Wah! Ini hidup kok ajaib banget ya.. Kira2 gitu deh suara hati saya sambil jingkrak-jingkrak saking bahagianya. Jujur di awal, saya gawah banget gak tau apa itu jadi LO artist lol. Trus langsung aja gitu search di google baca-baca artikel di blog orang-orang yang pernah punya pengalaman jadi LO artis. Kalau kata tante Wikipedia sih, LO atau Liaison officer adalah seseorang yang bertugas menghubungkan dua lembaga untuk berkomunisasi dan berkoordinasi mengenai kegiatan antarlembaga. Tapi menurut hemat saya s...

Bagaimana Kami Masih Hidup Setelah Dibunuh: Napak Tilas Pembekuan UKPKM Media Unram

(persma underwater, doc. crew media unram) Mau tidak mau kita harus mengakui, kita sempat koma selama periode kepengurusan tahun 2015-2016. Iya, koma. Kondisi dimana kita tak bisa mengendalikan tubuh kita secara maximal. Organ-organ dalam kita masih berfungsi, tetapi kita tidak mampu melakukan hal-hal yang biasanya (seharusnya) kita lakukan. Atau mungkin lebih tepatnya, kita kesurupan! Kondisi dimana, raga kita ditempati oleh “jin”, sementara kita tidak bisa mengendalikan tubuh kita selama bebrapa waktu sampai si jin ngerasa kewalahan sendiri dan mengembalikan tubuh kita. Oh well, pengandaian saya mungkin kurang tepat. Tetapi yang jelas, pengambil alihan sekretariat dan pergantian kepengurusan oleh pihak rektorat secara sepihak tempo hari, mau tidak mau harus kita akui membuat kita (seolah-olah) mati di kalangan banyak pihak. Bagaimana tidak? Setiap turun liputan untuk web, ada saja beberapa kawan yang iseng menanyakan “Loh bukannya Media Unram udah mati ya?” Kan menyeb...