(Bu Fajariah bersama Putranya Muhammad Jaelani masih diselimuti duka atas kematian Putra sulungnya yang menjadi korban gempa Lombok 7 sr. Foto: Ricko Rullyarto)
Siang yang terik menjelang pukul 14.00 WITA. Di depan Gedung Bupati Lombok Utara yang hampir rubuh. Sehari setelah gempa berkekuatan 7 sr (5/8), seorang Ibu paruh baya, Fajariah, tengah menyuapi anak lelakinya Muhammad Jaelani (4) yang tampak bersemangat menyantap satu cup pop mie.
Sekilas mereka tampak biasa saja, kalau saja orang-orang tidak melihat langsung ke arah mata mereka. Mata mereka tampak merah sembab, masih menyimpan luka dan duka.
Tak lama buk Fajar, panggilan akrabnya, bercerita dengan suara serak menahan tangis bahwa Gempa berkekuatan 7 skala richter yang mengguncang Lombok kemarin, merenggut nyawa anak sulungnya Deni Irawan (17).
Saat gempa berlangsung, Bu Fajar bersama suami, dua anaknya, tengah menonton TV di ruang keluarga. Sementara si sulung tengah mengaji di surau bersama teman-temannya.
"Waktu itu anak saya pergi ngaji. Dia yang sedang ngaji cerita teman-temannya. Trus gempa. Anak saya sama temen-temennya lari keluar. Tapi pas lari itu anak saya kejepit di dua bangunan sempit," tutur bu Fajar berbagi duka. Air matanya hampir tumpah, tapi tampak ditahan.
Lebih jauh, bu Fajar bercerita almarhum anaknya yang masih SMP tersebut sudah langsung dimakamkan. Namun, si bungsu Jaelani masih sangat trauma kehilangan sang kakak. Setiap malam, Jaelani menangis di pengungsian memanggil nama kakaknya. Sekeluarga, Bu Fajar yang berasal dari Dusun Cupek memgungsi di Desa Sigar Penjalin bersama para pengungsi lainnya.
"Ini Jaelani kayak almarhum kakaknya. Sama-sama pemalu. Kakaknya juga begini dulu. Di pengungsian, Jaelani yang paling sering nangis dan ketakutan di antara anak-anak yang lain," kenang bu Fajar.
Untuk bantuan sendiri, di tempat pengungsiannya Sigar Penjalin, Bu Fajar mengaku telah bisa didapatkan dengan cukup mudah. Hanya saja, untuk para pengungsi belum mendapatkan trauma healing khususnya bagi anak-anak yang ada di sana.
Meski bencana gempa 7 skala richter telah merubuhkan rumah dan merenggut nyawa anak sulungnya. Bu Fajar mengaku masih memiliki harapan untuk bangkit dari bencana ini. Ia yang beberapa kali terlihat istigfar ketakutan setiap mendengar suara keras, berharap suasana dapat berangsur-angsur membaik. Luka dan duka diaharapkam dapat pulih secara perlahan.
"Pasti berlalu kan ya," katanya meyakinkan diri sendiri. (novita-tim media)
Foto: Ricko Rullyarto
Komentar
Posting Komentar