Langsung ke konten utama

Layang-layang yang Terlambat Pulang (Lombok post Minggu, 12 Juni 2016)




Cerpen Novita Hidayani

Beberapa hari ini aku melihat sebuah layang-layang yang selalu terlambat pulang. Menjelang magrib, semua layang-layang biasanya akan diturunkan dan pulang bersama pemiliknya ke rumah masing-masing. Tetapi layang-layang itu, meski langit telah menghitam, ia masih saja mengudara. Ia seperti enggan untuk pulang.
***
Meski tak pernah dapat memainkannya, sejak kecil aku selalu suka melihat layang-layang terbang di langit. Entah langit sedang sebiru samudera, atau seoranye telur setengah matang. Senang sekali rasanya melihat benda tipis berwarna-warni, kadang berekor panjang itu  mengambang di udara. Kadang diam seperti petapa, kadang meliuk-liuk seperti ular, dan kadang beradu seperti domba
Sore ini aku duduk di balkon kamar kontrakkanku. Sudah lama sekali rasanya aku tak melakukan ini, ngemil sambil menyaksikan layang-layang bertebangan di langit. Ditemani burung-burung gereja pada kabel-kabel listrik yang malang melintang di hadapan balkon dan kendaraan yang lalu lalang di bawah sana.
Kali ini aku menghitung ada tujuh layang-layang dengan warna dan ukuran yang berbeda-beda sedang mengudara. Merah, hijau, kuning, biru tua, oranye... Aku menikmatinya dengan perasaan lega, hingga mataku terpaku pada sebuah layang-layang blaster hitam putih yang terbang paling rendah. Aku tahu betul layang-layang itu terbuat dari tas kresek dengan direkatkan oleh sulutan obat nyamuk. Tenggorokanku mendadak seperti tercekat. Aku tiba-tiba teringat ibu yang beberapa waktu lalu masih sering menelponku untuk pulang.
***
Semenjak ibu didiagnosis hepatitis C, ibu berubah menjadi manja. Ia kerap memintaku untuk pulang. Jika itu hanya permintaan barang seperti makanan atau pakaian aku masih bisa menurutinya. Tetapi tidak dengan waktu. Awalnya ibu mengerti dengan baik hal itu, karena aku anak sulungnya yang sibuk bekerja. Itu juga untuk biaya pengobatannya, biaya membayar bik Atun yang membantunya di rumah, dan biaya sekolah kedua adik lelakiku, karena mengandalkan gaji tunjangan almarhum bapakku sangatlah tidak mencukupi.
Rindu bertemu? Tentu saja. Aku juga rindu bertemu ibu. Sangat merindukannya. Jangan tanyakan seberapa sayangnya aku pada ibu. Aku merindukan kue putri nyelem buatannya, tumis kangkungnya, dan aku merindukan tiduran di pangkuannya sambil tangannya menyisik rambutku dan melihat kedua adik lelakiku membuat atau bermain layang-layang. Ibulah yang mengajarkan kedua adik lelakiku dulu cara membuat layang-layang dengan kertas kresek dan merekatkannya dengan sulutan obat nyamuk, saat kami kehabisan uang untuk membeli layang-layang atau bahannya.
Jika aku punya pilihan, aku akan memilih untuk tinggal saja di rumah bersama ibu, merawatnya, dan menemaninya sambil melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi aku satu-satunya anak yang dapat dijadikan tumpuan. Tidak mungkin kedua adik lelakiku yang masih duduk di kelas 2 SMP itu. Jadi selepas SMA, aku memutuskan bekerja ke kota. Dan bekerja untuk mendapatkan uang ternyata tidak semudah seperti saat mendapatkan nilai 9 di bangku sekolah dulu. Tidak semudah membuat guru-guru terkesan karena aku bisa menjawab pertanyaan dengan baik atau mengerjakan tugas dengan sempurna di kelas. Tidak semudah itu.
Kini aku harus berdiri selama tujuh jam sehari dengan rok mini dan menjajakan produk di supermarket-supermaket hanya demi seratus sampai dua ratus ribuan perhari. Tidak jarang pada malam hari yang dingin menggigit, aku harus ke tempat-tempat ramai menawarkan produk-produk dengan stoking tipis, lengan terbuka, dan wejes tinggi hanya demi tambahan beberapa lembar uang. Dan di waktu luang, aku harus berjam-jam duduk di depan laptop untuk menjual produk-produk online. Ketika semakin dewasa dan semakin jelas saja realita itu terlihat untukku, semakin banyak saja uang yang harus kukumpulkan. Hingga selogan waktu adalah uang berlaku untukku.
***
Aku menyesap tehku yang sudah dingin. Menjelang magrib, jalan raya di bawah kontrakanku semakin padat merayap. Orang-orang yang pulang kerja dan orang-orang yang hanya hendak jalan-jalan bercampur tak dapat dibedakan. Warung-warung tenda ayam taliwang, bebek goreng, lalapan, dan masakan jalan lainnya mulai sibuk membuka dagangan mereka.
 Layang-layang di langit pun satu persatu diturunkan, beberapa diantaranya tadi terlihat putus dan terbang meliuk-liuk lebih jauh. Hilang arah entah kemana. Di saat aku berdiri hendak masuk ke kamar karena langit hampir sempurna menghitam, saat itulah aku melihat sebuah layang-layang yang masih mengudara sendiri. Kenapa layang-layang itu belum pulang?
***
Karena kupikir pemilik layang-layang itu hanya keasikan saja bermain layang-layang, aku tidak tertalu mempedulikannya. Aku masuk dan menutup rapat-rapat pintu kamar. Tetapi selama beberapa hari, aku masih melihat layang-layang itu paling lambat pulang dibandingkan dengan laying-layang yang lain. Ia seperti enggan untuk pulang.
Lalu, entah di hari ke enam atau ke tujuh, aku memutuskan untuk menemui pemilik layang-layang itu. Hitung-hitung sambil berjalan-jalan dan membeli makan malam. Lagi pula, lapangan tempat orang-orang bermain layang-layang letaknya tak jauh dari tempatku. Dapat terjangkau hanya dengan sepuluh menit berjalan kaki.
Ketika telah sampai di lapangan itu, aku mendapati seorang remaja laki-laki bertubuh jangkung tengah berdiri dengan gulungan benang diantara sela kakinya dan tangannya yang sesekali menarik-narik benang layang-layangnya. Kepalanya terus-terusan mendongak ke langit melihat layang-layangnya. Dia sendirian saja, berdiri masgul tak terusik. Aku menghampirinya.
“Hai!” Sapaku. Dia menoleh terkejut melihatku.
“Aduh mbak, kaget saya!”
“Maaf dek. Layang-layangmu buat saya penasaran. Kenapa belum pulang seperti teman-temanmu?” Tanyaku tanpa bertele-tele. Ia menggaruk tengkuknya dan cengengesan. Ia lantas pelan-pelan menurunkan layang-layangnya.
“Ini kok mbak mau pulang.”
“Tapi beberapa hari ini saya memperhatikan layang-layangmu. Hanya layang-layang kamu yang selalu terlambat pulang.” Hening sesaat. Dia kemudian cengengesan lagi sambil terus menurunkan layang-layangnya.
“Hehe.. iya mbak. Saya males pulang. Dua minggu yang lalu ibu saya meninggal. Males sekali rasanya pulang dan ndak ketemu ibu di rumah. Hehe..”
Hatiku terenyuh mendengar itu. Mendadak susah sekali rasanya menghela nafas. Setelah berhasil menurunkan layang-layangnya, anak itu pamit pulang. Alih-alih berbela sungkawa atau memberikan kata-kata penghiburan, aku hanya mengangguk seperti orang kagok.
Aku kembali mengingat ibu. Kurogoh handphone yang ada di saku celanaku, kucari kontak ibu, kutatap deretan angka disana dan sadar tak dapat lagi menelponnya apalagi pulang untuk menyambut rindunya. Aku tersenyum getir.
Kediri, 17 Mei 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Di Balik Kartu Post dari Istanbul

Hari ini aku dapet kartu post Instanbul dari weddingnya kak fatma sama kak Tony (baca souvenir) walaupun jumat tempo hari batal ikut acaranya :D hahaha sekilas menurutku ga ada yang menarik dari kartu post ini, walaupun emang dibawa langsung dari Instanbul sana. Tapi kan tetep aja aku bisa googling liat fhoto-fhoto Turky. Kan yang ‘moto’ juga di turki sana. Tapi tapi, tunggu dulu… di baliknya ternyata ada puisi!!! :O Trus kalo ada puisi kenapa?   Biasa aja keles .... Eits tapi justru karena dua puisi yang ada di balik kartu post ini yang buat aku melek trus jari-jari jadi gatel buat tulisan kaya’ gini lagi, setelah sekian lama tenggelem dalam naskah yang tak kunjung kelar (dikelarin tepatnya) T.T *curcol mbak .… Well, ini dia dua puisi si biang kerok itu …. (Perhatian! Disarankan baca waktu sendirian, duduk deket jendela sambil liatin bintang gemintang #eaaaaaaaaaaaa) Puisi yang pertama….   akulah Si Telaga berlayarlah di atasnya berlayarlah menyibakka

Whatever just be your self!

Sore itu seperti biasa, aku menghadiri acara kajian rutin yang diadakan oleh sebuah organisasi nirlaba di kota tempat ku menuntut ilmu. Dan seperti biasa aku selalu mendapat bagian tempat duduk pada barisan terdepan, padahal itu bukan karna aku datang paling awal lho, hanya sebuah kebiasaan aneh audience yang kerap ku temui ketika mengikuti kajian serupa; "enggan duduk di barisan terdepan". Aku tak tau alasan tepatnya. Padahal menurutku duduk dibarisan terdepan itu adalah pilihan yang sangat menguntungkan dengan berbagai alasan yang tidak akan ku jelaskan disini. Kenapa? Karna aku akan membahas tentang sang pembicara yang menurutku lebih menarik untuk dibahas. Loh kok?! Emang ada apa sih dengan sang pembicara? Pertanyaan yang bagus! Hehe:p Sejak awal beliau membuka forum kajian sore itu, aku merasa mengenal gesture dan style beliau. Sangat tidak asing, karna setiap minggu malam aku melihat gesture dan style yang sama di televisi tapi dalam sosok yang berb