Cerpen
Novita Hidayani
Beberapa
hari ini aku melihat sebuah layang-layang yang selalu terlambat pulang.
Menjelang magrib, semua layang-layang biasanya akan diturunkan dan pulang
bersama pemiliknya ke rumah masing-masing. Tetapi layang-layang itu, meski
langit telah menghitam, ia masih saja mengudara. Ia seperti enggan untuk
pulang.
***
Meski
tak pernah dapat memainkannya,
sejak kecil aku selalu suka melihat
layang-layang terbang di langit. Entah langit sedang sebiru samudera, atau
seoranye telur setengah matang. Senang sekali rasanya melihat benda tipis
berwarna-warni, kadang berekor panjang itu
mengambang di udara. Kadang diam seperti petapa, kadang meliuk-liuk
seperti ular, dan kadang
beradu seperti domba
Sore ini aku duduk di balkon kamar
kontrakkanku. Sudah lama sekali rasanya aku tak melakukan
ini, ngemil sambil menyaksikan layang-layang bertebangan di langit. Ditemani
burung-burung gereja pada kabel-kabel listrik yang malang melintang di hadapan
balkon dan kendaraan yang lalu lalang di bawah sana.
Kali ini aku menghitung ada tujuh layang-layang dengan
warna dan ukuran yang berbeda-beda sedang mengudara. Merah,
hijau, kuning, biru tua, oranye... Aku
menikmatinya dengan perasaan lega, hingga mataku terpaku pada sebuah
layang-layang blaster hitam putih yang terbang paling rendah. Aku tahu betul layang-layang itu terbuat dari tas kresek
dengan direkatkan oleh sulutan obat nyamuk. Tenggorokanku mendadak seperti
tercekat. Aku tiba-tiba teringat ibu yang beberapa waktu lalu
masih sering menelponku
untuk pulang.
***
Semenjak ibu didiagnosis hepatitis C, ibu berubah menjadi manja. Ia kerap memintaku
untuk pulang. Jika itu hanya
permintaan barang seperti makanan atau pakaian aku masih bisa menurutinya.
Tetapi tidak dengan waktu. Awalnya ibu mengerti dengan baik hal itu, karena aku
anak sulungnya yang sibuk bekerja. Itu juga untuk biaya pengobatannya,
biaya membayar bik Atun yang membantunya di rumah, dan biaya sekolah kedua adik lelakiku, karena
mengandalkan gaji tunjangan almarhum bapakku sangatlah tidak mencukupi.
Rindu bertemu? Tentu saja. Aku juga rindu bertemu ibu.
Sangat merindukannya. Jangan tanyakan seberapa sayangnya aku pada ibu. Aku
merindukan kue putri nyelem
buatannya, tumis kangkungnya, dan aku merindukan tiduran di
pangkuannya sambil tangannya menyisik rambutku dan melihat kedua adik lelakiku membuat
atau bermain layang-layang.
Ibulah yang mengajarkan kedua adik lelakiku dulu cara membuat layang-layang
dengan kertas kresek dan merekatkannya dengan sulutan obat nyamuk, saat kami
kehabisan uang untuk membeli layang-layang atau bahannya.
Jika aku punya pilihan, aku akan memilih untuk tinggal
saja di rumah bersama ibu, merawatnya, dan menemaninya
sambil melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi aku satu-satunya anak yang dapat dijadikan
tumpuan. Tidak mungkin kedua adik lelakiku yang masih duduk di kelas 2 SMP itu. Jadi selepas SMA, aku memutuskan bekerja ke kota.
Dan bekerja untuk mendapatkan uang ternyata tidak semudah seperti saat
mendapatkan nilai 9 di bangku sekolah dulu. Tidak semudah membuat guru-guru
terkesan karena aku bisa menjawab pertanyaan dengan baik atau mengerjakan tugas
dengan sempurna di kelas. Tidak semudah itu.
Kini aku harus berdiri selama tujuh jam sehari dengan rok
mini dan menjajakan produk di supermarket-supermaket hanya demi seratus
sampai dua ratus ribuan
perhari.
Tidak jarang pada malam hari yang dingin menggigit, aku harus ke tempat-tempat
ramai menawarkan produk-produk dengan stoking tipis, lengan terbuka, dan wejes
tinggi hanya demi tambahan beberapa lembar uang. Dan di waktu luang, aku harus
berjam-jam duduk di depan laptop untuk menjual produk-produk online. Ketika
semakin dewasa dan semakin jelas saja realita itu terlihat untukku, semakin
banyak saja uang yang harus kukumpulkan. Hingga selogan waktu adalah uang
berlaku untukku.
***
Aku menyesap tehku yang sudah dingin. Menjelang magrib, jalan raya di bawah kontrakanku semakin padat merayap. Orang-orang yang pulang kerja dan orang-orang yang
hanya hendak jalan-jalan bercampur tak dapat dibedakan.
Warung-warung tenda ayam taliwang, bebek goreng, lalapan, dan masakan jalan
lainnya mulai sibuk membuka dagangan mereka.
Layang-layang di langit pun satu persatu
diturunkan, beberapa diantaranya tadi terlihat putus dan terbang meliuk-liuk
lebih jauh. Hilang arah entah kemana. Di saat aku berdiri hendak masuk ke kamar
karena langit hampir sempurna menghitam, saat itulah aku melihat sebuah
layang-layang yang masih mengudara sendiri. Kenapa layang-layang itu belum
pulang?
***
Karena
kupikir pemilik layang-layang itu hanya keasikan saja bermain layang-layang,
aku tidak tertalu mempedulikannya. Aku masuk dan menutup rapat-rapat pintu
kamar. Tetapi selama beberapa hari, aku masih melihat layang-layang itu paling
lambat pulang dibandingkan dengan laying-layang yang lain. Ia seperti enggan
untuk pulang.
Lalu,
entah di hari ke enam atau ke tujuh, aku memutuskan untuk menemui pemilik
layang-layang itu. Hitung-hitung sambil berjalan-jalan dan membeli makan malam.
Lagi pula, lapangan tempat orang-orang bermain layang-layang letaknya tak jauh
dari tempatku. Dapat terjangkau hanya dengan sepuluh menit berjalan kaki.
Ketika
telah sampai di lapangan itu, aku mendapati seorang remaja laki-laki bertubuh
jangkung tengah berdiri dengan gulungan benang diantara sela kakinya dan
tangannya yang sesekali menarik-narik benang layang-layangnya. Kepalanya
terus-terusan mendongak ke langit melihat layang-layangnya. Dia sendirian saja,
berdiri masgul tak terusik. Aku menghampirinya.
“Hai!”
Sapaku. Dia menoleh terkejut melihatku.
“Aduh
mbak, kaget saya!”
“Maaf
dek. Layang-layangmu buat saya penasaran. Kenapa belum pulang seperti
teman-temanmu?” Tanyaku tanpa bertele-tele. Ia menggaruk tengkuknya dan
cengengesan. Ia lantas pelan-pelan menurunkan layang-layangnya.
“Ini
kok mbak mau pulang.”
“Tapi
beberapa hari ini saya memperhatikan layang-layangmu. Hanya layang-layang kamu
yang selalu terlambat pulang.” Hening sesaat. Dia kemudian cengengesan lagi
sambil terus menurunkan layang-layangnya.
“Hehe..
iya mbak. Saya males pulang. Dua minggu yang lalu ibu saya meninggal. Males
sekali rasanya pulang dan ndak ketemu ibu di rumah. Hehe..”
Hatiku
terenyuh mendengar itu. Mendadak susah sekali rasanya menghela nafas. Setelah
berhasil menurunkan layang-layangnya, anak itu pamit pulang. Alih-alih berbela
sungkawa atau memberikan kata-kata penghiburan, aku hanya mengangguk seperti
orang kagok.
Aku
kembali mengingat ibu. Kurogoh handphone yang ada di saku celanaku, kucari
kontak ibu, kutatap deretan angka disana dan sadar tak dapat lagi menelponnya
apalagi pulang untuk menyambut rindunya. Aku tersenyum getir.
Kediri, 17 Mei 2016
Komentar
Posting Komentar