Langsung ke konten utama

Hari Bebas Manusia (Suara NTB Sabtu, 4 Juni 2016)




     Cerpen Novita Hidayani

     Hari telah pagi ketika aku bangun dan menyadari tak seorangpun ada di rumah. Tak seperti biasanya. Paling tidak jika tak ada ibu yang sibuk menyiapkan sarapan di dapur, jam segini kakakku yang mahasiswi tingkat akhir itu biasanya masih tertidur di ranjangnya yang berada tepat di samping ranjangku. Tapi begitu bangun tadi, ranjangnya telah kosong dengan bantal guling dan selimut yang tertata rapi. Benar-benar tidak seperti biasanya.
     Mungkin Ayahku berangkat lebih pagi ke sekolah untuk mengajar, mungkin ibuku pergi ke pasar sedikit lebih lama, dan mungkin kakakku yang pemalas itu memiliki hal penting yang memang mengharuskannya untuk menanggalkan kebiasaan tidur pagi harinya sehari. Masuk akal pikirku. Kemungkinan yang bisa saja terjadi sekali dalam sekian tahun hidupmu. Lalu kuputuskan untuk mandi saja dan bersiap-siap ke kampus mengikuti jadwal kuliahku pukul 7.30 seperti biasa.
     Anehnya saat aku baru membuka pintu rumah, keheningan langsung menyergapku. Tak ada satu pun tetangga yang biasa terlihat melakukan rutinitas paginya. Semua pintu rumah tertutup rapat, motor-motor dan mobil diam membisu di tempat. Angin berhembus. Sehelai daun nangka kering  terbang dan berhenti beberapa meter di depanku. Burung-burung terdengar berkicau dari kejauhan. Selain itu tak ada lagi tanda-tanda kehidupan terdengar.
     Menyadari keheningan yang tiba-tiba begitu mencekamku, aku berlari menuju tiap pintu rumah, mengetuk pintunya yang terdengar lebih seperti menggedor, dan meneriaki nama setiap penghuninya dengan sedikit panik.
     “Bunda Elin! Bunda Elin!”
     “Mamaknya kakak Ema!”
     “Pak Sinar!!”
     “Niniq Jinem!!”
     “Andre!!!”
     Tak ada jawaban yang terdengar. Hanya suara nafasku yang ngos-ngosan dan suara jantungku yang berdenyut-denyut seperti hendak keluar merobek dadaku. Aku menjatuhkan diri duduk di paping blok rumah paling ujung kompleks perumahan ini dengan keringat yang membuat badanku terasa panas. Kemana perginya orang-orang? Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Apakah semalam ada sebuah pesawat dari luar angkasa yang menyedot semua orang kecuali diriku? Atau ini seperti salah satu episode Spongebob dimana orang-orang sepakat pergi ke suatu tempat dan mendedikasikan sehari dalam hidup mereka tanpa diriku? Tapi kenapa semua itu terdengar begitu konyol? Pasti ada sebuah penjelasan tentang semua ini. Pasti.
     Aku bergegas bangun dan berjalan kembali menuju rumahku. Bulu kudukku tiba-tiba meremang. Berjalan sendirian di sebuah kompleks perumahan yang kosong seperti ini seperti berada dalam film zombie. Setting yang begitu sempurna. Aku membayangkan beberapa menit lagi, segerombolan zombie lapar, dengan sebelah kaki buntung, leher koyak, dan isi perut yang terburai berlari ke arahku dan memperebutkan isi otakku. Lantas apa yang bisa kulakukan? Aku tak membawa senjata apapun untuk mempertahankan diri. Kupercepat langkahku hingga berlari menuju rumahku. Begitu sampai, aku bergegas masuk ke dalam dan mengunci pintu. Suara piring besi, atau panci, terdengar jatuh di dapur disusul suara kucing, membuat jantungku seperti berhenti berdetak untuk beberapa saat.
     Aku kemudian segera berlari menuju kamar mengambil handphoneku. Mencoba mengkontak ayahku tapi tak ada jawaban, lalu kakak perempuanku, beberapa temanku, bibi dan pamanku yang berada di pulau seberang, bahkan nomor pemadam kebakaran dan klinik Tong Fang. Tak satupun menjawab. Aku lantas mengecek semua akun sosial media yang kupunya, facebook, twitter, bbm, what’s up, line, instagram, google+, tak satupun kutemukan tengah bergentayangan. Aku merebahkan diri di atas sofa. Suara detik jam dinding terdengar seperti pukul satu dini hari, padahal ini sudah hampir pukul delapan.
     Kemana? Kemana perginya orang-orang? Apa aku benar-benar sendirian? Kunyalakan TV dan yang kutemukan hanyalah semut-semut hitam putih dan garis biru merah kuning hijau di seluruh chenel yang ada. Ada apa sebenarnya? Kucubit lenganku keras-keras. Sakit sekali dan berdenyut-denyut. Aku  tidak sedang bermimpi. Kupejamkan mata untuk beberapa saat. Kesunyian dan keheningan ini benar-benar membuat kepalaku pening. Apakah aku benar-benar sendirian?
     Lalu kuputuskan untuk meninggalkan rumah menuju tempat dimana orang-orang biasa berkumpul. Tanpa memanaskan terlebih dahulu, kugas metikku membelah jalanan yang sepi. Benar-benar sepi. Hanya terlihat daun-daun kering berjingkrak-jingkrak di trotoar ditiup angin, beberapa kucing dan anjing yang melintas, dan burung-burung yang terlihat masih eksis berterbangan seperti tak pernah terjadi apapun. Persetan dengan kemungkinan adanya zombie atau predator atau begal yang bisa menyergapku kapan saja. Kesendirianku lebih menakutkan dari apapun. Kugas metikku hingga jarum speedometer terlihat seperti hendak meloncat dari tempatnya. 
     Pedesaan pinggir kota sepi. Pasar tradisional membisu, kecuali lagi-lagi kucing garong, anjing ras kampung, ayam, kambing, dan lalat-lalat hijau yang berterbangan tak ada yang kutemui.  Pusat kota, lebih-lebih. Gedung-gedung tinggi berdiri dingin. Mall dan supermaket 24 jam melompong, meski pintu-pintunya terbuka seperti biasa. Hanya iklan-iklan dan pesan digital di papan reklame yang masih menunjukan tanda-tanda kehidupan, pernah ada kehidupan lebih tepatnya. Tenggorokanku mulai terasa sakit dan mataku mulai terasa memanas. Tapi tak kuberikan kesempatan diriku untuk menangis. Aku harus menemukan kemana perginya orang-orang.
     Setelah mengisi ulang sendiri bahan bakar di Pertamina, dengan tak lupa meninggalkan tiga lembar sepuluh ribuan di meja kasirnya yang kosong. Kugas lagi metikku. Kali ini tujuanku bandara dan pelabuhan. Jika tak kutemukan orang-orang disana, setidaknya aku berharap dapat menemukan jejak kepergian mereka. Tapi lagi-lagi yang temui kehampaan. Hanya ekskalator ruang chek in bandara yang menunjukan mobilitas. Selebihnya, seperti seseorang yang pita suaranya telah ditarik paksa dari tenggorokannya dan digunting.
     Saat matahari mulai merendah, aku sampai di pelabuhan. Suara kepak sayap burung-burung laut dan ombak terdengar dan kapal-kapal serta boat-boat yang lebih kecil mengapung tak bergeming. Tubuhku terasa kebas, kenyang dengan angin. Aku berjalan dengan langkah sedikit gemetar menuju ke dermaga. Bukan! Sama sekali bukan karena lapar. Tapi karena benar-benar tak bisa memikirkan kemungkinan apapun terhadap apa yang sebenarnya tengah terjadi hari ini.
     “Ayah!!!”
     “Ibuk!!!”
     “Kakak!!!”
     “Seseorang jawab aku!!!”
     Aku berteriak sekeras yang kubisa meski dengan suara parau. Hanya suara bangau laut, ombak, dan gema suaraku sendiri yang terdengar menimpali. Aku jatuh tertunduk di dermaga. Kurasakan ada lubang besar yang menganga di dadaku. Kenyataan bahwa aku benar-benar sendirian, kutekankan sekali lagi, benar-benar sen-di-ri-an, terasa menikam dadaku berulang-rulang dan menciptakan lubang itu.
     Dengan segala hal yang tersedia, mungkin aku masih bisa hidup selama bertahun-tahun bahkan belasan tahun kedepan. Tapi aku tak akan sanggup hidup sendirian selama itu. Bagaimana jika aku merindukan keluargaku, pria yang kusayangi, sahabat-sahabatku? Oh aku bahkan belum merasakan pengalaman bercinta pertamaku dan mewujudkan mimpi-mimpi kecilku. Kurasakan bahuku mulai berguncang karena tangis. Aku akhirnya menangis.
     Warna lembayung senja memang selalu menyedihkan bagiku, tapi tak pernah semenyedihkan saat ini. Matahari seperti warna telur mata sapi setengah matang, pelan-pelan ditelan laut di hadapanku. Hari mulai beranjak gelap. Dan kuputuskan untuk pulang saja. Tidur di rumah dengan harapan saat aku terbangun esok hari, semua berjalan seperti sedia kala. Suara ombak dan burung gagak mengantar langkah kakiku meninggalkan dermaga.
     Saat kakiku tinggal beberapa langkah saja mencapai metikku yang terparkir tak jauh dari dermaga. Sebuah mini bus berwarna cokelat tanah dengan motif bunga-bunga seperti dalam kemeja hawai melaju dengan sangat kencang dan berhenti tepat di hadapanku. Tak dapat kujelaskan betapa bahagianya aku menyaksikan ini. Rasanya aku akan meledak saat pintu mini bus itu terbuka dengan otomatis dan seorang laki-laki jangkung bersapari di belakang kemudi mengembangkan senyum menyambutku.
     “Ya Tuhan! Ya Tuhan! Kupikir aku benar-benar sendiri!!” Pekikku begitu melihatnya.
     “Naiklah!” Perintahnya. Oh wajah teduhnya langsung meluluhkan segala keletihanku selama seharian. Tanpa banyak tanya aku langsung meloncat naik ke dalam bus.
     “Kau tahu? Aku sendirian sepanjang hari ini. Benar-benar sendirian. Aku tak tahu kemana perginya orang-orang, sampai akhirnya kau datang. Apa kau akan mengantarku ke tempat perginya orang-orang?”
     “Tidak, anak muda. Aku akan mengantarmu ke tempat dimana seharusnya kau berada. Duduklah di belakang, kita akan berangkat.”
     Karena disesaki kelegaan yang tak terhinga, aku mematuhi perintahnya sambil mengucapkan banyak terimakasih tanpa banyak tanya lagi. Di bagian belakang bus, aku disambut hangat oleh dua orang yang berpakaian sama seperti laki-laki yang duduk di belakang kemudi itu. Aku menghempaskan diri duduk di kursi penumpang dengan perasaan sungguh sangat lega. Meski tanda tanya besar masih menggantung di kepalaku, apapun yang akan terjadi setelah ini dan kemanapun orang-orang ini akan membawaku, aku tak peduli.
     Bahkan ketika dua orang yang menemaniku di kursi penumpang mulai menanyakanku pertanyaan yang aneh-aneh seperti, siapa Tuhanmu? Apa agamamu? Apa kitab sucimu? Aku tetap tak peduli.
Kediri, 8 Januari 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Novelet: "Maroona" full

MAROONA (full) Hatiku tengah berlayar                                                                                         Di tengah lautan yang luas dan biru Kilauan airnya memantul menyinariku           Hatiku tengah berlayar Ditengah lautan yang luas Seisinya bernyanyi untukku Entah sampai kapan ia akan terus berlayar Entah seberapa luas laut yang akan diarunginya lagi Sampai kini belum ada dermaga yang membuatnya berhenti Berhenti untuk menyandarkan hari-hari Berhenti untu...

Cerpen: "Pergi"

Pergi Setelah tujuh tahun lamanya, hari ini aku kembali dapat melihat kedua mata yang begitu teduh mendamaikan dan selalu berbinar itu lagi. Kedua mata itu kembali memporak-porandakan perasaanku, membuat seluruh persendianku terasa lemas, dan kembali melumpuhkan otak numerikku persis seperti tujuh tahun yang lalu. Tak ada sedikitpun yang berubah dari kedua mata itu, meski sekarang kau memilih mengecat rambut ikal panjangmu berwarna senada dengan kedua bola matamu yang hitam legam. Membuat gen ke-indonesiaanmu lebih terlihat. Selain dari itu tak ada yang berubah dari dirimu. Suaramu yang selalu terdengar ceria memanggil namaku, tinjuan yang tak pernah pelan ke pundakku hasil belajar bela diri kilatmu dulu, parfume lavender favoritmu, stelan jeans dan kaos putih kebanggaanmu, dan terutama kedua matamu dan cara memandangmu itu tak ada yang berubah. Masih sama seperti dulu. Membuat perasaan yang selama hampir tujuh tahun terakhir ini dengan susah   payah berusaha ku enyahkan ...

2 Hari Bareng Eva Celia

It was such an amazing experience! Satu kalimat yang mewakili dua hari jadi LOnya Eva Celia untuk Konser Senggigi Sunset Jazz Festival yang diadain di Lombok, tanggal 9 Desember kemaren. Awalnya surprise banget waktu suatu hari, tiba2 dapet whatsapp dari Mbak Githa, "Mau gak jadi LOnya Eva Celia?" Oh my God!!! Can you imagine my feeling? Saya yang biasanya kalo gabut di kantor suka streaming lagunya Eva Celia dan Ayahnya Indra Lesmana, tiba-tiba diminta jadi LOnya. Wah! Ini hidup kok ajaib banget ya.. Kira2 gitu deh suara hati saya sambil jingkrak-jingkrak saking bahagianya. Jujur di awal, saya gawah banget gak tau apa itu jadi LO artist lol. Trus langsung aja gitu search di google baca-baca artikel di blog orang-orang yang pernah punya pengalaman jadi LO artis. Kalau kata tante Wikipedia sih, LO atau Liaison officer adalah seseorang yang bertugas menghubungkan dua lembaga untuk berkomunisasi dan berkoordinasi mengenai kegiatan antarlembaga. Tapi menurut hemat saya s...