Cerpen Novita Hidayani
Hari telah pagi ketika aku bangun dan
menyadari tak seorangpun ada di rumah. Tak seperti biasanya. Paling tidak jika
tak ada ibu yang sibuk menyiapkan sarapan di dapur, jam segini kakakku yang
mahasiswi tingkat akhir itu biasanya masih tertidur di ranjangnya yang berada tepat
di samping ranjangku. Tapi begitu bangun tadi, ranjangnya telah kosong dengan
bantal guling dan selimut yang tertata rapi. Benar-benar tidak seperti
biasanya.
Mungkin Ayahku berangkat lebih pagi ke
sekolah untuk mengajar, mungkin ibuku pergi ke pasar sedikit lebih lama, dan
mungkin kakakku yang pemalas itu memiliki hal penting yang memang mengharuskannya
untuk menanggalkan kebiasaan tidur pagi harinya sehari. Masuk akal pikirku.
Kemungkinan yang bisa saja terjadi sekali dalam sekian tahun hidupmu. Lalu
kuputuskan untuk mandi saja dan bersiap-siap ke kampus mengikuti jadwal
kuliahku pukul 7.30 seperti biasa.
Anehnya saat aku baru membuka pintu rumah,
keheningan langsung menyergapku. Tak ada satu pun tetangga yang biasa terlihat
melakukan rutinitas paginya. Semua pintu rumah tertutup rapat, motor-motor dan
mobil diam membisu di tempat. Angin berhembus. Sehelai daun nangka kering terbang dan berhenti beberapa meter di
depanku. Burung-burung terdengar berkicau dari kejauhan. Selain itu tak ada
lagi tanda-tanda kehidupan terdengar.
Menyadari keheningan yang tiba-tiba begitu
mencekamku, aku berlari menuju tiap pintu rumah, mengetuk pintunya yang
terdengar lebih seperti menggedor, dan meneriaki nama setiap penghuninya dengan
sedikit panik.
“Bunda Elin! Bunda Elin!”
“Mamaknya kakak Ema!”
“Pak Sinar!!”
“Niniq Jinem!!”
“Andre!!!”
Tak ada jawaban yang terdengar. Hanya suara
nafasku yang ngos-ngosan dan suara jantungku yang berdenyut-denyut seperti
hendak keluar merobek dadaku. Aku menjatuhkan diri duduk di paping blok rumah
paling ujung kompleks perumahan ini dengan keringat yang membuat badanku terasa
panas. Kemana perginya orang-orang? Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Apakah
semalam ada sebuah pesawat dari luar angkasa yang menyedot semua orang kecuali
diriku? Atau ini seperti salah satu episode Spongebob dimana orang-orang
sepakat pergi ke suatu tempat dan mendedikasikan sehari dalam hidup mereka
tanpa diriku? Tapi kenapa semua itu terdengar begitu konyol? Pasti ada sebuah
penjelasan tentang semua ini. Pasti.
Aku bergegas bangun dan berjalan kembali
menuju rumahku. Bulu kudukku tiba-tiba meremang. Berjalan sendirian di sebuah
kompleks perumahan yang kosong seperti ini seperti berada dalam film zombie.
Setting yang begitu sempurna. Aku membayangkan beberapa menit lagi,
segerombolan zombie lapar, dengan sebelah kaki buntung, leher koyak, dan isi
perut yang terburai berlari ke arahku dan memperebutkan isi otakku. Lantas apa
yang bisa kulakukan? Aku tak membawa senjata apapun untuk mempertahankan diri.
Kupercepat langkahku hingga berlari menuju rumahku. Begitu sampai, aku bergegas
masuk ke dalam dan mengunci pintu. Suara piring besi, atau panci, terdengar
jatuh di dapur disusul suara kucing, membuat jantungku seperti berhenti
berdetak untuk beberapa saat.
Aku kemudian segera berlari menuju kamar
mengambil handphoneku. Mencoba mengkontak ayahku tapi tak ada jawaban, lalu
kakak perempuanku, beberapa temanku, bibi dan pamanku yang berada di pulau
seberang, bahkan nomor pemadam kebakaran dan klinik Tong Fang. Tak satupun
menjawab. Aku lantas mengecek semua akun sosial media yang kupunya, facebook,
twitter, bbm, what’s up, line, instagram, google+, tak satupun kutemukan tengah
bergentayangan. Aku merebahkan diri di atas sofa. Suara detik jam dinding
terdengar seperti pukul satu dini hari, padahal ini sudah hampir pukul delapan.
Kemana? Kemana perginya orang-orang? Apa
aku benar-benar sendirian? Kunyalakan TV dan yang kutemukan hanyalah
semut-semut hitam putih dan garis biru merah kuning hijau di seluruh chenel
yang ada. Ada apa sebenarnya? Kucubit lenganku keras-keras. Sakit sekali dan
berdenyut-denyut. Aku tidak sedang bermimpi.
Kupejamkan mata untuk beberapa saat. Kesunyian dan keheningan ini benar-benar
membuat kepalaku pening. Apakah aku benar-benar sendirian?
Lalu kuputuskan untuk meninggalkan rumah
menuju tempat dimana orang-orang biasa berkumpul. Tanpa memanaskan terlebih
dahulu, kugas metikku membelah jalanan yang sepi. Benar-benar sepi. Hanya terlihat
daun-daun kering berjingkrak-jingkrak di trotoar ditiup angin, beberapa kucing
dan anjing yang melintas, dan burung-burung yang terlihat masih eksis
berterbangan seperti tak pernah terjadi apapun. Persetan dengan kemungkinan
adanya zombie atau predator atau begal yang bisa menyergapku kapan saja.
Kesendirianku lebih menakutkan dari apapun. Kugas metikku hingga jarum speedometer
terlihat seperti hendak meloncat dari tempatnya.
Pedesaan pinggir kota sepi. Pasar
tradisional membisu, kecuali lagi-lagi kucing garong, anjing ras kampung, ayam,
kambing, dan lalat-lalat hijau yang berterbangan tak ada yang kutemui. Pusat kota, lebih-lebih. Gedung-gedung tinggi
berdiri dingin. Mall dan supermaket 24 jam melompong, meski pintu-pintunya
terbuka seperti biasa. Hanya iklan-iklan dan pesan digital di papan reklame
yang masih menunjukan tanda-tanda kehidupan, pernah ada kehidupan lebih
tepatnya. Tenggorokanku mulai terasa sakit dan mataku mulai terasa memanas.
Tapi tak kuberikan kesempatan diriku untuk menangis. Aku harus menemukan kemana
perginya orang-orang.
Setelah mengisi ulang sendiri bahan bakar
di Pertamina, dengan tak lupa meninggalkan tiga lembar sepuluh ribuan di meja
kasirnya yang kosong. Kugas lagi metikku. Kali ini tujuanku bandara dan
pelabuhan. Jika tak kutemukan orang-orang disana, setidaknya aku berharap dapat
menemukan jejak kepergian mereka. Tapi lagi-lagi yang temui kehampaan. Hanya ekskalator
ruang chek in bandara yang menunjukan mobilitas. Selebihnya, seperti seseorang
yang pita suaranya telah ditarik paksa dari tenggorokannya dan digunting.
Saat matahari mulai merendah, aku sampai
di pelabuhan. Suara kepak sayap burung-burung laut dan ombak terdengar dan
kapal-kapal serta boat-boat yang lebih kecil mengapung tak bergeming. Tubuhku
terasa kebas, kenyang dengan angin. Aku berjalan dengan langkah sedikit gemetar
menuju ke dermaga. Bukan! Sama sekali bukan karena lapar. Tapi karena
benar-benar tak bisa memikirkan kemungkinan apapun terhadap apa yang sebenarnya
tengah terjadi hari ini.
“Ayah!!!”
“Ibuk!!!”
“Kakak!!!”
“Seseorang jawab aku!!!”
Aku berteriak sekeras yang kubisa meski
dengan suara parau. Hanya suara bangau laut, ombak, dan gema suaraku sendiri
yang terdengar menimpali. Aku jatuh tertunduk di dermaga. Kurasakan ada lubang
besar yang menganga di dadaku. Kenyataan bahwa aku benar-benar sendirian, kutekankan
sekali lagi, benar-benar sen-di-ri-an, terasa menikam dadaku berulang-rulang
dan menciptakan lubang itu.
Dengan segala hal yang tersedia, mungkin
aku masih bisa hidup selama bertahun-tahun bahkan belasan tahun kedepan. Tapi
aku tak akan sanggup hidup sendirian selama itu. Bagaimana jika aku merindukan
keluargaku, pria yang kusayangi, sahabat-sahabatku? Oh aku bahkan belum merasakan
pengalaman bercinta pertamaku dan mewujudkan mimpi-mimpi kecilku. Kurasakan
bahuku mulai berguncang karena tangis. Aku akhirnya menangis.
Warna lembayung senja memang selalu
menyedihkan bagiku, tapi tak pernah semenyedihkan saat ini. Matahari seperti
warna telur mata sapi setengah matang, pelan-pelan ditelan laut di hadapanku.
Hari mulai beranjak gelap. Dan kuputuskan untuk pulang saja. Tidur di rumah
dengan harapan saat aku terbangun esok hari, semua berjalan seperti sedia kala.
Suara ombak dan burung gagak mengantar langkah kakiku meninggalkan dermaga.
Saat kakiku tinggal beberapa langkah saja
mencapai metikku yang terparkir tak jauh dari dermaga. Sebuah mini bus berwarna
cokelat tanah dengan motif bunga-bunga seperti dalam kemeja hawai melaju dengan
sangat kencang dan berhenti tepat di hadapanku. Tak dapat kujelaskan betapa
bahagianya aku menyaksikan ini. Rasanya aku akan meledak saat pintu mini bus
itu terbuka dengan otomatis dan seorang laki-laki jangkung bersapari di belakang
kemudi mengembangkan senyum menyambutku.
“Ya Tuhan! Ya Tuhan! Kupikir aku
benar-benar sendiri!!” Pekikku begitu melihatnya.
“Naiklah!” Perintahnya. Oh wajah teduhnya
langsung meluluhkan segala keletihanku selama seharian. Tanpa banyak tanya aku
langsung meloncat naik ke dalam bus.
“Kau tahu? Aku sendirian sepanjang hari
ini. Benar-benar sendirian. Aku tak tahu kemana perginya orang-orang, sampai
akhirnya kau datang. Apa kau akan mengantarku ke tempat perginya orang-orang?”
“Tidak, anak muda. Aku akan mengantarmu ke
tempat dimana seharusnya kau berada. Duduklah di belakang, kita akan
berangkat.”
Karena disesaki kelegaan yang tak
terhinga, aku mematuhi perintahnya sambil mengucapkan banyak terimakasih tanpa
banyak tanya lagi. Di bagian belakang bus, aku disambut hangat oleh dua orang
yang berpakaian sama seperti laki-laki yang duduk di belakang kemudi itu. Aku
menghempaskan diri duduk di kursi penumpang dengan perasaan sungguh sangat
lega. Meski tanda tanya besar masih menggantung di kepalaku, apapun yang akan
terjadi setelah ini dan kemanapun orang-orang ini akan membawaku, aku tak
peduli.
Bahkan ketika dua orang yang menemaniku di
kursi penumpang mulai menanyakanku pertanyaan yang aneh-aneh seperti, siapa
Tuhanmu? Apa agamamu? Apa kitab sucimu? Aku tetap tak peduli.
Kediri, 8 Januari 2016
Komentar
Posting Komentar