Langsung ke konten utama

Menikah Bukan Solusi



Kasus dinikahkannya anak perempuan usia 16 tahun dengan laki-laki 57 tahun, yang lebih cocok jd bapak atau kakeknya itu memang sangat miris. Konon, si anak dinikahkan karena mengalami gangguan mental. Ibunya meninggal dan membuat ayahnya gila. Jadi si anak kurang kasih sayang dan akhirnya juga memiliki  gangguan mental.

Bertemulah si anak dengan laki-laki setengah abad yang bersedia menikahi si anak. Keluarga dan lingkungannya sepakat untuk menikahkan keduanya. Katanya, itulah solusi terbaik. Si anak jadi ada yang merawat dan memberikan kasih sayang. Setelah dinikahkan, orang-orang lantas berkata.. "sudah jodohnya".

Saya membaca kasus yang viral ini dengan sedih. Serius sedih banget. Saya tentu saja sangat tidak setuju menikahkan anak tersebut sebagai solusi dari masalah hidup yang dialaminya. Bukankah justru yang terbaik adalah dengan memberikan penanganan yang tepat terhadap penyakit mental si anak? Si anak, bagaimanapun adalah anak yang membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari orangtua. Dia baru 16 tahun! Ya tuhan.. Masih sangat muda.

Saya membayangkan gangguan mentalnya bisa ditangani dengan baik. Kemudian dapat berbaur dengan remaja seusianya. Mengeksplore minat dan bakatnya. Mengalami banyak hal yang seharusnya dialami anak muda seusianya. Bukannya terjebak di dalam rumah tangga dengan kewajiban-kewajiban yang belum waktunya diemban oleh si anak. Masih banyak yang bisa dialami anak seusianya! Tapi lebih sedih lagi, keluarga, lingkungan, dan pemerintah lebih memilih angkat tangan dengan semua kewajiban itu. So sad ~

"Tapi dia gila!" Banyak yang ngotot bilang seperti itu. Bukankah ini justru lebih menyeramkan. Siapa yang akan menjamin, si anak bukan menjadi pelampiansan sexual suaminya. Bagaimana jika si anak punya anak. Bagaimana nasib si anak?

Yah.. Tidak ingin menyalahkan siapapun, karna saya sendiri tidak bisa melakukan apapun untuk si anak. Selain itu, saya juga berada di masyarakat yang masih berpikir menikah adalah solusi dari segala masalah. Terutama perempuan.

Tidak ada uang, menikah. Bukannya berusaha mencari kerja dan memperbaiki hidup. Anak remaja nakal, menikah. Bukannya dididik dengan lebih baik. Ada masalah dengan keluarga, menikah. Bukannya berusaha memperbaiki hubungan, atau mencari aktifitas lain yang lebih produktif.

Yang menyarankan menikah cepat-cepat itu sendiri tak akan bertanggung jawab atas permasalahan rumah tangga yang dialami si anak. Giliran pasangan tersebut cerai dan masa depan mereka sudah hancur, mereka akan bilang "sudah takdirnya. Jodohnya sampai segitu aja.." Bah! Cuci tangan dah..

Demi apa, pernikahan anak itu menyeramkan. Jadi tolong support lah anak-anak itu untuk sekolah, untuk belajar. Supportlah anak-anak muda untuk produktif. Menikah itu pasti (kalo gak meninggal duluan atau memilih tidak menikah). Jadi, jangan suruh-suruh menikah cepat-cepat. Nanti kalau rumah tangga orang berantakan, juga gak mau dibantu kan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layang-layang yang Terlambat Pulang (Lombok post Minggu, 12 Juni 2016)

Cerpen Novita Hidayani Beberapa hari ini aku melihat sebuah layang-layang yang selalu terlambat pulang. Menjelang magrib, semua layang-layang biasanya akan diturunkan dan pulang bersama pemiliknya ke rumah masing-masing. Tetapi layang-layang itu, meski langit telah menghitam, ia masih saja mengudara. Ia seperti enggan untuk pulang. *** Meski tak pernah dapat memainkannya, sejak kecil aku selalu suka melihat layang-layang terbang di langit. Entah langit sedang sebiru samudera, atau seoranye telur setengah matang. Senang sekali rasanya melihat benda tipis berwarna-warni, kadang berekor panjang itu   mengambang di udara. Kadang diam seperti petapa, kadang meliuk-liuk seperti ular, dan kadang beradu seperti domba Sore ini aku duduk di balkon kamar kontrakkanku. Sudah lama sekali rasanya aku tak melakukan ini, ngemil sambil menyaksikan layang-layang bertebangan di langit. Ditemani burung-burung gereja pada kabel-kabel listrik yang malang melintang di hadapan balkon dan

Di Balik Kartu Post dari Istanbul

Hari ini aku dapet kartu post Instanbul dari weddingnya kak fatma sama kak Tony (baca souvenir) walaupun jumat tempo hari batal ikut acaranya :D hahaha sekilas menurutku ga ada yang menarik dari kartu post ini, walaupun emang dibawa langsung dari Instanbul sana. Tapi kan tetep aja aku bisa googling liat fhoto-fhoto Turky. Kan yang ‘moto’ juga di turki sana. Tapi tapi, tunggu dulu… di baliknya ternyata ada puisi!!! :O Trus kalo ada puisi kenapa?   Biasa aja keles .... Eits tapi justru karena dua puisi yang ada di balik kartu post ini yang buat aku melek trus jari-jari jadi gatel buat tulisan kaya’ gini lagi, setelah sekian lama tenggelem dalam naskah yang tak kunjung kelar (dikelarin tepatnya) T.T *curcol mbak .… Well, ini dia dua puisi si biang kerok itu …. (Perhatian! Disarankan baca waktu sendirian, duduk deket jendela sambil liatin bintang gemintang #eaaaaaaaaaaaa) Puisi yang pertama….   akulah Si Telaga berlayarlah di atasnya berlayarlah menyibakka

Whatever just be your self!

Sore itu seperti biasa, aku menghadiri acara kajian rutin yang diadakan oleh sebuah organisasi nirlaba di kota tempat ku menuntut ilmu. Dan seperti biasa aku selalu mendapat bagian tempat duduk pada barisan terdepan, padahal itu bukan karna aku datang paling awal lho, hanya sebuah kebiasaan aneh audience yang kerap ku temui ketika mengikuti kajian serupa; "enggan duduk di barisan terdepan". Aku tak tau alasan tepatnya. Padahal menurutku duduk dibarisan terdepan itu adalah pilihan yang sangat menguntungkan dengan berbagai alasan yang tidak akan ku jelaskan disini. Kenapa? Karna aku akan membahas tentang sang pembicara yang menurutku lebih menarik untuk dibahas. Loh kok?! Emang ada apa sih dengan sang pembicara? Pertanyaan yang bagus! Hehe:p Sejak awal beliau membuka forum kajian sore itu, aku merasa mengenal gesture dan style beliau. Sangat tidak asing, karna setiap minggu malam aku melihat gesture dan style yang sama di televisi tapi dalam sosok yang berb