Orang-orang
di kampungku memanggilku dengan panggilan “anak anjing”. Bukan! Bukan karena
kedua orang tuaku adalah anjing. Meski mereka bahkan terkadang tak mampu
menyediakan makanan yang layak untukku dan adik-adikku, tapi sungguh mereka
adalah orang tua yang baik budi pekertinya. Bukan pula karena rupaku yang mirip
anjing sehingga nama panggilan itu melekat padaku. Aku tak yakin, tapi
setidaknya tidak hanya cermin yang berkata aku cukup rupawan untuk dikatakan
mirip anjing.
“Jangan!!!
Anjing itu bisa mati!”
Ini
sudah 20 tahun setelah kejadian itu tapi aku seakan masih bisa mendengar
teriakan cemprengku di tengah hujan lebat saat itu, yang bahkan tidak membuat
anak-anak itu—yang dulunya ku anggap “teman”__ beranjak sedikitpun dari
tempatnya, masih dengan batu di genggaman mereka masing-masing. Sementara
anjing kampung dengan kaki hampir putus dan koreng dimana-mana itu beringsut
menggelung di sisi undakan batu. Matanya takut-takut berkedip. Lemah. Seakan
melihat izrail disetiap kedipannya. Aku menggigil. Darahnya, luka-lukanya…
dinginnya air hujan itu saja sudah
membuat tulang ngilu luar biasa.
“Jangan
dibunuh!!” Teriakku lagi.
“Dia
nakjis!”
Air liurnya, bukan dia!!!
“Kotor!”
Kalian juga!! Lihatlah
lumpur-lumpur di badan kalian!! Kita!! Kita juga terkadang kotor!!
“Bau!!”
“Jelek!!”
“Nakjis!!”
“LEMPAR!!!”
“JANGAN!!!”
Ini sudah 20 tahun sejak kejadian itu, tapi aku masih dapat mengingat dengan
jelas bagaimana kemudian saat itu aku mendorong salah satu anak yang memiliki
batu di tangannya hingga kepalanya dijahit tujuh jahitan dan diopname di rumah
sakit kota. Aku juga masih mengingat dengan jelas bagaimana kemudian orang
tuanya__ya! Si anak itu__ Datang dengan mata yang begitu menakutkan,
menunjuk-nunjukku, menyalahkanku, mengatakan aku anak anjing dan kemudian
menyumpahi kedua orang tuaku. Saat itu aku masih delapan tahun dan itu sudah
cukup membuatku mengerti bagaimana rasanya sakit hati itu.
***
Novita Hidaya
Komentar
Posting Komentar