Langsung ke konten utama

Cerpen: "Kunang-kunang Kenangan"

Kunang-kunang Kenangan
Ku tengadahkan tanganku layaknya seseorang yang sedang meminta, atau mungkin berdo’a. Tapi aku tak sedang melakukan keduanya. Seperti inilah posisiku beberapa tahun  yang lalu, ketika pertama kali dalam seumur hidupku, kau menghadiahiku seekor kunang-kunang. Tanganmu sendiri yang memindahkan serangga cantik itu ke dalam tangkupan kedua tanganku dengan sangat hati-hati. Lalu senyum hangatmu terkembang melihatku kegirangan norak seperti anak kecil memegang kunang-kunang pertamaku itu. Kau tak tau betapa bahagianya aku saat melihat kunang-kunang yang sebelumnya hanya dapat ku lihat di televisi  itu secara langsung. Dan kau tak pernah tau betapa aku lebih bahagia lagi karena kau ada disisiku saat itu.
Aku tersentak dengan lamunanku sendiri, tersentak dengan tingkah anehku sendiri. Dan buru-buru menurunkan kedua tanganku yang tadi di dalam imajinasiku, aku mengulang kembali kejadian malam itu antara deretan bukit, aku,  kunang-kunang, dan kau. Perasaan hangat  kembali menjalari dadaku, tapi kali ini perasaan hangat itu bermutasi menjadi begitu menyakitkan. Tak ada deretan bukit, malam, aku, kunang-kunang, dan kau lagi. Aku tersadar sepenuhnya, sadar dimana aku menginjakkan kedua kakiku saat ini. Lalu Aku menghela oksigen yang rasanya tak mulus masuk ke paru-paruku.
Di manakah dapat ku lihat kunang-kunang disini? Di tengah kota dengan cahaya lampu dimana-mana. Dengan suara bising kendaraan dan orang-orang yang kelayapan seperti hendak ingin mengganti fitrah menjadi nokturnal? Pertanyaan itu hanya terpantul di otakku. Bukan. Bukan kunang-kunang yang sebenarnya ingin ku lihat. Meski begitu, ingin sekali ku teriakkan, agar seluruh penghuni kota ini dapat mendengarnya. Dan dengan sedikit harapan dapat memantul sampai ke tempatmu, bisa kau dengar, datang dan membawaku melihat kunang-kunang itu sekali lagi saja. Tanpa ada yang berubah sedikitpun. Bisakah?
Aku tau, sejak kabar darimu itu masuk ke ponselku beberapa menit yang lalu. Aku tak akan pernah lagi dapat menyatukan semua pecahan kenangan bersamamu itu lagi. Bukan hanya karena semua kenangan itu telah pecah oleh  jarak dan waktu. Tapi karena kau perlahan lepas dari kenangan itu. Kau memilih melepaskan diri. Dan malam ini, aku terjebak sendiri di dalamnya. Tak hanya tentang  kunang-kunang, tapi juga semua kenangan yang pernah utuh menjadi kita itu. Dan aku terlalu rapuh untuk mengenangnya sendiri sekarang.
“Aku mengerti.”
Akhrinya ku kirim dua kata  itu membalas pesanmu tadi dengan perasaan yang masih tak dapat ku jelaskan dengan baik. Lalu aku buru-buru melangkah pulang menerobos gerimis yang menari dibawah lampu jalan yang tak kunjung berubah menjadi hujan. Ingin segera melarikan diri dari kenangan-kenangan yang tiba-tiba seperti berubah  menjadi beribu kunang-kunang terbang menyesakkan mengitariku. Aku ingin segera sampai ke rumah. Menangis sendiri di tempat tidur. Yah, yang kubutuhkan sekarang hanya menangis dulu. Entah apa nanti. Yang pasti tidak kunang-kunang, tidak juga kau.
Kita telah terkalahkan waktu.
Novita Hidaya, 21st Sept 2013
Thanks for reading. I’m very glad if u leave comments and suggestions for my writing in order i can write better...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layang-layang yang Terlambat Pulang (Lombok post Minggu, 12 Juni 2016)

Cerpen Novita Hidayani Beberapa hari ini aku melihat sebuah layang-layang yang selalu terlambat pulang. Menjelang magrib, semua layang-layang biasanya akan diturunkan dan pulang bersama pemiliknya ke rumah masing-masing. Tetapi layang-layang itu, meski langit telah menghitam, ia masih saja mengudara. Ia seperti enggan untuk pulang. *** Meski tak pernah dapat memainkannya, sejak kecil aku selalu suka melihat layang-layang terbang di langit. Entah langit sedang sebiru samudera, atau seoranye telur setengah matang. Senang sekali rasanya melihat benda tipis berwarna-warni, kadang berekor panjang itu   mengambang di udara. Kadang diam seperti petapa, kadang meliuk-liuk seperti ular, dan kadang beradu seperti domba Sore ini aku duduk di balkon kamar kontrakkanku. Sudah lama sekali rasanya aku tak melakukan ini, ngemil sambil menyaksikan layang-layang bertebangan di langit. Ditemani burung-burung gereja pada kabel-kabel listrik yang malang melintang di hadapan balkon dan

Whatever just be your self!

Sore itu seperti biasa, aku menghadiri acara kajian rutin yang diadakan oleh sebuah organisasi nirlaba di kota tempat ku menuntut ilmu. Dan seperti biasa aku selalu mendapat bagian tempat duduk pada barisan terdepan, padahal itu bukan karna aku datang paling awal lho, hanya sebuah kebiasaan aneh audience yang kerap ku temui ketika mengikuti kajian serupa; "enggan duduk di barisan terdepan". Aku tak tau alasan tepatnya. Padahal menurutku duduk dibarisan terdepan itu adalah pilihan yang sangat menguntungkan dengan berbagai alasan yang tidak akan ku jelaskan disini. Kenapa? Karna aku akan membahas tentang sang pembicara yang menurutku lebih menarik untuk dibahas. Loh kok?! Emang ada apa sih dengan sang pembicara? Pertanyaan yang bagus! Hehe:p Sejak awal beliau membuka forum kajian sore itu, aku merasa mengenal gesture dan style beliau. Sangat tidak asing, karna setiap minggu malam aku melihat gesture dan style yang sama di televisi tapi dalam sosok yang berb

Dear Ayah

Dear Ayah… Ayah, andai aku seorang lelaki aku akan menjadi bujangmu yang tangguh. Tapi sayang, aku adalah seorang perempuan. Andai aku seorang lelaki yah, aku akan merantau jauh dan enggan pulang sebelum bisa membanggakanmu. Tapi aku terlahir sebagai seorang perempuan yah, putri satu-satunya yang kau miliki. Tidak. Kau memang tidak pernah mempermasalahkan apakah aku seorang lelaki atau perempuan. Tapi ayah izinkan aku membayangkan apa yang bisa ku perbuat ketika aku menjadi bujangmu… Dear Ayah… Kau lakukan segalanya untukku.  Kau pernah bilang “Orang tua tidak akan berkata tidak kepada anaknya, selama mereka sanggup melakukannya.” Dan kau melakukannya. Tak jarang aku mengambil keputusan yang tak sesuai dengan harapanmu. Tapi kau selalu menjadi orang pertama yang mendukungku sekaligus menjadi orang pertama yang akan membuka tangan ketika aku gagal. Ayah… Meski aku seorang perempuan. Aku akan selalu berusaha membanggakanmu. Aku akan menukar semua keringatmu dengan senyum b