Langsung ke konten utama

Seorang Gadis yang Mengencani Hujan

     Aku tahu ada begitu banyak orang yang mengagumi hujan di muka bumi ini. Tapi aku tahu hanya seorang saja yang mengencaninya.
     Ia adalah seorang gadis berambut wavy bob dengan kulit kemerahan yang seringkali datang ke kafe kecil dan sepi tempatku berkerja untuk kencan dengan kekasihnya. Hujan. Bukan! Hujan bukanlah nama seorang lelaki, atau nama seorang perempuan jika gadis itu seorang lesbian. Gadis yang kerap datang dengan stelan levis biru dan spatu flat berwarna cokelat itu mengaku berkencan dengan hujan sungguhan. Aku hampir menjatuhkan coffee latte pesanannya saat ia menjawab pertanyaan basa-basiku tentang siapa yang tengah ditunggunya saat pertama kali ia datang ke kafe.
     “Kau terkejut? Hahaha tentu saja! Tak akan ada yang percaya.” Katanya sambil membantuku membenarkan letak nampan di tanganku yang tadi oleng.
     “Duduklah bersamaku. Hujan kekasihku akan datang setengah enam nanti. Sementara itu, aku bisa menceritakan bagaimana kami bisa menjadi sepasang kekasih.” Pintanya dengan senyum hangat. Ia begitu cantik dengan sebuah lesung pipi di pipi sebelah kanannya. Sayang sekali jika gadis secantik ini mengidap skizofrenia, pikirku.
     “Santailah denganku, kafemu sepi. Aku tidak akan melapor pada bosmu karena kau duduk bersama pelanggan. Kau bisa juga membuat kopimu sendiri jika kau mau. Nanti aku yang bayar.” Katanya dan menarik lenganku duduk di kursi yang berada di hadapannya.
     “Ohya namaku Neina. Kau tentu tidak akan keberatan jika aku bercerita, bukan? Aku sedang sangat bahagia, dan sedikit deg-degkan karena ini kencan pertamaku setelah peresmian hubungan kami dan kepindahan kami kesini. Hei, menurutmu apa aku cantik sore ini?” Ia menyelipkan rambutnya pada telinganya, memamerkan anting stud mungil yang berkilau dan menatapku sungguh-sungguh menanti jawaban.
     “Sangat! Kau sangat cantik.” Pujiku tulus Ia tersenyum lega. Wajahnya tanpa polesan make-up sedikitpun. Mungkin hanya sedikit krim dan pelembab bibir. Meski begitu, ia tampak berseri seperti seorang yang benar-benar tengah jatuh cinta.
     Lalu ia mulai bercerita seakan-akan aku adalah seorang teman lama yang sangat dekat dengannya. Ia bercerita bagaimana sebenarnya sejak kecil ia sangat suka hujan. Hujan selalu datang membawa kebahagiaan. Meskipun kadang-kadang, ia sedikit takut dan sedih jika hujan datang di malam hari bersama petir dan kilat. Tapi itu kemudian bisa membuatnya tidur nyenyak, katanya.
     “Sangat nyenyak. Dan selalu membawa mimpi indah.” Ia menyeruput kopi dengan kedua tangannya.
     Sayangnya, ia baru benar-benar menyadari pesona hujan pada malam dimana ia menangis di pinggir jalan saat pertama kali mengetahui kekasih manusianya, cinta pertamanya, yang dicintai dengan sepenuh hati menghianatinya di usianya yang ke 22.
     “Aku tengah tertunduk menangis, saat aku merasa ada yang menyentuh bahuku. Lalu setitik demi setitik hujan datang dan pelan-pelan melebat membasahiku. Kau tau rasanya saat itu? Seperti kau adalah bara yang disiram air. Aku merasa dipeluk. Dan saat aku mengangkat kepalaku, hujan sudah sangat deras membuat orang-orang berlarian menepi dan berteduh. Seakan-akan hujan berkata kepada mereka, Neinaku sedang bersedih, dia ingin menangis sendiri, kalian jangan mengganggunya! Oh kemana saja aku selama ini.”
     Sejak itulah, ia mengaku mulai bisa berkomunikasi dengan hujan. Hujan kemudian selalu datang mengunjunginya di saat yang tepat dan sesekali memberikannya kejutan dengan datang tiba-tiba. Kehadiran hujan benar-benar bisa mengobati luka hatinya hingga ia kemudian meminta hujan untuk menjadi kekasihnya. Hujan pun mengiyakan. Dan singkat cerita, jadilah mereka sepasang kekasih seperti sekarang.
     “Kau boleh tidak percaya dengan ceritaku. Kau juga boleh menganggapku gila. Tapi kami mencintai satu sama lain. Bukannya wujud sesuatu itu tidak penting saat kau mencintai? Orang-orang bisa mencintai Tuhan yang tak ada wujudnya dan menjadikannya kekasih. Jadi ketika aku mencintai hujan, kurasa tak ada yang salah dengan itu.” Katanya mengankhiri ceritanya. Ia kemudian melihat jam kulit berwarna cokelat yang melingkar manis di tangannya, membuatku melakukan hal yang sama. 05.25.
     “Sebentar lagi. Sebentar lagi kekasihku akan datang! Kau boleh pergi. Terimakasih sudah mau mendengarkan ceritaku.” Katanya. Aku mengangguk dan permisi meninggalkannya. Jika kau ada dalam posisiku, tentu saja kau juga akan menganggap gadis itu tidak waras. Hanya dia terlalu cantik untuk diabaikan.
     Pukul setengah enam tepat, hujan turun seperti katanya. Dan ia menatap ke luar dinding kafe yang terbuat dari kaca dengan berseri-seri seakan-akan seorang lelaki tampan datang membawa seikat bunga untuknya.
     Awalnya, kupikir itu hanya sebuah kebetulan. Tapi setiap kali gadis itu datang ke kafe ini, hujan juga selalu datang. Pernah suatu waktu, selama beberapa hari Neina tidak datang ke kafe dan hujan pun tidak turun saat itu. Saat bertemu tanpa sengaja di sebuah mini market, aku menanyakan mengapa ia tidak datang selama beberapa hari. Lalu dengan raut wajah sedih ia bercerita tengah bertengkar dengan hujan. Hujan tengah ‘ngambek’ katanya. Dan keesokan harinya, ia datang berseri-seri mengabarkan bahwa mereka telah baikan dan hujanpun kembali turun.
     Sampai saat hujan semakin sering turun tak kenal waktu dan musim. Ia turun pada siang hari dan tak berhenti hingga larut malam. Begitupun saat turun di pagi hari, ia takkan berhenti sampai matahari menyapih anak hari. Mungkinkah mereka bercinta? Semuanya basah. Suhu perbukitan yang sudah dingin menjadi semakin dingin. Longsor terjadi di beberapa tempat sementara di wilayah-wilayah lain terjadi kekeringan yang mengerikan. Kebakaran hutan terjadi dimana-mana, ribuan titik api terdeteksi dan menyebabkan partikulan mematikan berkeliaran di udara, siap mencekik tiap paru-paru yang disambanginya.
     Pemerintah sibuk saling menyalahkan siapa yang harus bertanggung jawab, sementara disini aku melihat Neina hampir setiap hari bermesraan dengan hujan  Apa jangan-jangan memang benar Neina dan hujan adalah sepasang kekasih?
     Suatu pagi, pagi-pagi sekali. Kutemukan Neina menangis di depan pintu kafe yang masih tertutup dengan sebuah koper di sampingnya. Aku segera menengadah menatap langit. Cerah membentang biru. Kenapa Neina menangis? Kenapa hujan tak datang menghiburnya? Melihat matanya yang membengkak dan penampilannya yang kacau, kupastikan ia telah menangis semalaman.
     “Semalam aku putus dengan hujan. Aku memutuskannya. Aku memintanya untuk pergi ke barat. Disana banyak yang lebih membutuhkannya sebelum kami saling membutuhkan satu sama lain. Demi Tuhan! Aku sangat mencintainya. Begitupun dia. Tapi bagaimana? Kehancuran terjadi karena hubungan kami. Aku akan pergi sejauh mungkin. Dimana hujan tak dapat menemukanku. Kemudian aku akan berdo’a, agar di kehidupan yang akan datang, aku hidup kembali sebagai hujan dan bisa terus bersama-sama dengannya. Aku datang mengucapkan selamat tinggal.”
Aku terpaku. Bingun harus berkomentar apa.
***
     Keesokan harinya, aku menunggu berita turunnya hujan di wilayah barat untuk membuktikan untuk terakhir kali, apakah semua kejadian Neina dan hujan bukanlah sebuah kebetulan biasa. Tetapi kebakaran tak kunjung padam dan partikulan semakin berkuasa setelah mengekspansi banyak wilayah. Negeri asap tercipta. Hujan tak kunjung turun disana. Ternyata ini memang hanyalah sebuah fenomena alam semata.
Setelah kepergian Neina, hujan semakin sering turun di perbukitan ini. Tak jarang membawa angin kencang, petir, dan kilat. Seperti sore ini, saat aku duduk di tempat Neina biasa duduk berkencan dengan kekasih halusinasinya itu dengan secangkir coffee latte seperti yang selalu dipesannya. Aku tiba-tiba merindukan sosok Neina. Kuharap dia baik-baik saja disuatu tempat dan mendapat penanganan serius untuk gangguan mental yang dideritanya sehingga ia dapat melanjutkan hidup seperti orang-orang normal lainnya.
     Hujan semakin deras saat kemudian kudengar sebuah suara muncul dari derainya. Lalu seperti ada tangan yang menangkup kedua tanganku.
     “Tolong katakan pada Neina, aku sangat mencintainya. Kumohon, tolonglah aku. Aku tak bisa meninggalkannya ke barat dengan kondisi seperti itu.”
     Aku bangun terkejut membuat kursiku terjatuh. Tidak mungkin! Hujan tidak mungkin berbicara padaku.
Novita Hidayani - Kediri 28 September 2015




Komentar

  1. I love this part: “Kau boleh tidak percaya dengan ceritaku. Kau juga boleh menganggapku gila. Tapi kami mencintai satu sama lain. Bukannya wujud sesuatu itu tidak penting saat kau mencintai? Orang-orang bisa mencintai Tuhan yang tak ada wujudnya dan menjadikannya kekasih. Jadi ketika aku mencintai hujan, kurasa tak ada yang salah dengan itu.”
    Makasi Nov... love it..

    lrisar.wordpress.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Layang-layang yang Terlambat Pulang (Lombok post Minggu, 12 Juni 2016)

Cerpen Novita Hidayani Beberapa hari ini aku melihat sebuah layang-layang yang selalu terlambat pulang. Menjelang magrib, semua layang-layang biasanya akan diturunkan dan pulang bersama pemiliknya ke rumah masing-masing. Tetapi layang-layang itu, meski langit telah menghitam, ia masih saja mengudara. Ia seperti enggan untuk pulang. *** Meski tak pernah dapat memainkannya, sejak kecil aku selalu suka melihat layang-layang terbang di langit. Entah langit sedang sebiru samudera, atau seoranye telur setengah matang. Senang sekali rasanya melihat benda tipis berwarna-warni, kadang berekor panjang itu   mengambang di udara. Kadang diam seperti petapa, kadang meliuk-liuk seperti ular, dan kadang beradu seperti domba Sore ini aku duduk di balkon kamar kontrakkanku. Sudah lama sekali rasanya aku tak melakukan ini, ngemil sambil menyaksikan layang-layang bertebangan di langit. Ditemani burung-burung gereja pada kabel-kabel listrik yang malang melintang di hadapan balkon dan

Di Balik Kartu Post dari Istanbul

Hari ini aku dapet kartu post Instanbul dari weddingnya kak fatma sama kak Tony (baca souvenir) walaupun jumat tempo hari batal ikut acaranya :D hahaha sekilas menurutku ga ada yang menarik dari kartu post ini, walaupun emang dibawa langsung dari Instanbul sana. Tapi kan tetep aja aku bisa googling liat fhoto-fhoto Turky. Kan yang ‘moto’ juga di turki sana. Tapi tapi, tunggu dulu… di baliknya ternyata ada puisi!!! :O Trus kalo ada puisi kenapa?   Biasa aja keles .... Eits tapi justru karena dua puisi yang ada di balik kartu post ini yang buat aku melek trus jari-jari jadi gatel buat tulisan kaya’ gini lagi, setelah sekian lama tenggelem dalam naskah yang tak kunjung kelar (dikelarin tepatnya) T.T *curcol mbak .… Well, ini dia dua puisi si biang kerok itu …. (Perhatian! Disarankan baca waktu sendirian, duduk deket jendela sambil liatin bintang gemintang #eaaaaaaaaaaaa) Puisi yang pertama….   akulah Si Telaga berlayarlah di atasnya berlayarlah menyibakka

Whatever just be your self!

Sore itu seperti biasa, aku menghadiri acara kajian rutin yang diadakan oleh sebuah organisasi nirlaba di kota tempat ku menuntut ilmu. Dan seperti biasa aku selalu mendapat bagian tempat duduk pada barisan terdepan, padahal itu bukan karna aku datang paling awal lho, hanya sebuah kebiasaan aneh audience yang kerap ku temui ketika mengikuti kajian serupa; "enggan duduk di barisan terdepan". Aku tak tau alasan tepatnya. Padahal menurutku duduk dibarisan terdepan itu adalah pilihan yang sangat menguntungkan dengan berbagai alasan yang tidak akan ku jelaskan disini. Kenapa? Karna aku akan membahas tentang sang pembicara yang menurutku lebih menarik untuk dibahas. Loh kok?! Emang ada apa sih dengan sang pembicara? Pertanyaan yang bagus! Hehe:p Sejak awal beliau membuka forum kajian sore itu, aku merasa mengenal gesture dan style beliau. Sangat tidak asing, karna setiap minggu malam aku melihat gesture dan style yang sama di televisi tapi dalam sosok yang berb