Wasiat Membunuh Bapak Cerpen Novita Hidayani Aku menyalakan keran pada wastafel, membasuh sebuah pisau. Sinar matahari pagi yang hangat terpantul berkilau. *** “Bunuh bapakmu!” Kali pertama mendengar itu aku tertawa. Sungguh terdengar seperti guyonan. Membuatku melepaskan genggaman tangannya yang hanya berupa selapis kulit putih pucat keriput dan tulang. “Bunuh bapakmu!” Ibu mengulangi kata-katanya. Kedua matanya yang cekung menatapku tajam. Ada benci yang terlihat sangat mengerikan tertanam disana, yang akarnya merambat mengeraskan rahangnya yang biasa terlihat lembut. Aku menelan ludah. Tertawa. Berusaha tertawa tepatnya. Dan tawa itu terdengar mengerikan diterbangkan angin kering bulan Juli yang masuk melewati jendela ruangan sempit berukuran 3 x 4 meter ini. “Aku akan mati segera. Bunuh bapakmu! Itu permintaan terakhirku. Wasiat. Bagaim...
Tempat terbang di laut lepas dan berenang di langit bebas